Memang saat dijakarta menjadi sebuah kenangan manis sekaligus
kenakalan masa remajaku. mulai tahu ngentot dan belajar ngentot sama perawan
maupun ngentot sama tante girang. Sudah berpuluh-puluh kali aq ngentot sama
tante girang dan semua berakhir dengan kontolku yang lemas gemulai. Tapi gapapa
deh yang penting aku puas. Eh kok ngalor ngidul ga jelas. mending kita mulai
saja yuk cerita seks indonesia kali ini selamat menyimak pembaca yang budiman.
Aku ke Jakarta atas seizin orang tuaku, bahkan merekalah yang
mendorongnya. Pada mulanya aku sebenarnya enggan meninggalkan keluargaku, tapi
ayahku menginginkan aku untuk melanjutkan sekolah ke STM. Aku lebih suka kerja
saja di Purwokerto. Aku menerima usulan ayahku asalkan sekolah di SMA (sekarang
SMU) dan tidak di kampung.
Dia memberi alamat adik misannya yang telah sukses dan
tinggal di bilangan Tebet, Jakarta. Ayahku sangat jarang berhubungan dengan
adik misannya itu. Paling hanya beberapa kali melalui surat, karena telepon
belum masuk ke desaku. Kabar terakhir yang aku dengar dari ayahku, adik
misannya itu, sebut saja Oom Ton, punya usaha sendiri dan sukses, sudah
berkeluarga dengan satu anak lelaki umur 4 tahun dan berkecukupan. Rumahnya
lumayan besar. Jadi, dengan berbekal alamat, dua pasang pakaian, dan uang
sekedarnya, aku berangkat ke Jakarta. Satu-satunya petunjuk yang aku punyai:
naik KA pagi dari Purwokerto dan turun di stasiun Manggarai. Tebet tak jauh
dari stasiun ini.
Stasiun Manggarai, pukul 15.20 siang aku dicekam kebingungan.
Begitu banyak manusia dan kendaraan berlalu lalang, sangat jauh berbeda dengan
suasana desaku yang sepi dan hening. Singkat cerita, setelah ?berjuang? hampir
3 jam, tanya ke sana kemari, dua kali naik mikrolet (sekali salah naik), sekali
naik ojek yang mahalnya bukan main, sampailah aku pada sebuah rumah besar
dengan taman yang asri yang cocok dengan alamat yang kubawa.
Berdebar-debar aku masuki pintu pagar yang sedikit terbuka,
ketok pintu dan menunggu. Seorang wanita muda, berkulit bersih, dan .. ya
ampun, menurutku cantik sekali (mungkin di desaku tidak ada wanita cantik),
berdiri di depanku memandang dengan sedikit curiga. Setelah aku jelaskan
asal-usulku, wajahnya berubah cerah. ?Tarto, ya ? Ayo masuk, masuk. Kenalkan,
saya Tantemu.? Dengan gugup aku menyambut tangannya yang terjulur. Tangan itu
halus sekali. ?Tadinya Oom Ton mau jemput ke Manggarai, tapi ada acara
mendadak. Tante engga sangka kamu sudah sebesar ini. Naik apa tadi, nyasar, ya
?? Cecarnya dengan ramah. ?Maaar, bikin minuman!? teriaknya kemudian. Tak
berapa lama datang seorang wanita muda meletakkan minuman ke meja dengan penuh
hormat. Wanita ini ternyata pembantu, aku kira keponakan atau anggota keluarga
lainnya, sebab terlalu ?trendy? gaya pakaiannya untuk seorang pembantu.
Sungguh aku tak menduga sambutan yang begitu ramah. Menurut
cerita yang aku dengar, orang Jakarta terkenal individualis, tidak ramah dengan
orang asing, antar tetangga tak saling kenal. Tapi wanita tadi, isteri Oomku,
Tante Yani namanya (?Panggil saja Tante,? katanya akrab) ramah, cantik lagi.
Tentu karena aku sudah dikenalkannya oleh Oom Ton.
Aku diberi kamar sendiri, walaupun agak di belakang tapi
masih di rumah utama, dekat dengan ruang keluarga. Kamarku ada AC-nya, memang
seluruh ruang yang ada di rumah utama ber-AC. Ini suatu kemewahan bagiku.
Dipanku ada kasur yang empuk dan selimut tebal. Walaupun AC-nya cukup dingin,
rasanya aku tak memerlukan selimut tebal itu. Mungkin aku cukup menggunakan
sprei putih tipis yang di lemari itu untuk selimut. Rumah di desaku cukup
dingin karena letaknya di kaki gunung, aku tak pernah pakai selimut, tidur di
dipan kayu hanya beralas tikar. Aku diberi ?kewenangan? untuk mengatur kamarku
sendiri.
Aku masih merasa canggung berada di rumah mewah ini. Petang
itu aku tak tahu apa yang musti kukerjakan. Selesai beres-beres kamar, aku
hanya bengong saja di kamar. ?Too, sini, jangan ngumpet aja di kamar,? Tante
memanggilku. Aku ke ruang keluarga. Tante sedang duduk di sofa nonton TV.
?Sudah lapar, To ?? ?Belum Tante.? Sore tadi aku makan kue-kue yang disediakan
Si Mar. ?Kita nunggu Oom Ton ya, nanti kita makan malam bersama-sama.? Oom Ton
pulang kantor sekitar jam 19 lewat. ?Selamat malam, Oom,? sapaku. ?Eh, Ini
Tarto ? Udah gede kamu.? ?Iya Oom.? ?Gimana kabarnya Mas Kardi dan Yu Siti,?
Oom menanyakan ayah dan ibuku. ?Baik-baik saja Oom.? Di meja makan Oom banyak
bercerita tentang rencana sekolahku di Jakarta. Aku akan didaftarkan ke SMA
Negeri yang dekat rumah. Aku juga diminta untuk menjaga rumah sebab Oom
kadang-kadang harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi bisnisnya. ?Iya, saya
kadang-kadang takut juga engga ada laki-laki di rumah,? timpal Tante. ?Berapa
umurmu sekarang, To ?? ?Dua bulan lagi saya 16 tahun, Oom.? ?Badanmu engga
sesuai umurmu.?
***
Hari-hari baruku dimulai. Aku diterima di SMA Negeri 26
Tebet, tak jauh dari rumah Oom dan Tanteku. Ke sekolah cukup berjalan kaki. Aku
memang belum sepenuhnya dapat melepas kecanggunganku. Bayangkan, orang udik
yang kuper tamatan ST (setingkat SLTP) sekarang sekolah di SMA metropolitan.
Kawan sekolah yang biasanya lelaki melulu, kini banyak teman wanita, dan
beberapa diantaranya cantik-cantik. Cantik ? Ya, sejak aku di Jakarta ini jadi
tahu mana wanita yang dianggap cantik, tentunya menurut ukuranku. Dan tanteku,
Tante Yani, isteri Oom Ton menurutku paling cantik, dibandingkan dengan
kawan-kawan sekolahku, dibanding dengan tante sebelah kiri rumah, atau gadis
(mahasiswi ?) tiga rumah ke kanan. Cepat-cepat kuusir bayangan wajah tanteku
yang tiba-tiba muncul. Tak baik membayangkan wajah tante sendiri. Pada umumnya
teman-teman sekolahku baik, walaupun kadang-kadang mereka memanggilku ?Jawa?,
atau meledek cara bicaraku yang mereka sebut ?medok?. Tak apalah, tapi saya
minta mereka panggil saja Tarto. Alasanku, kalau memanggil ?Jawa?, toh orang
Jawa di sekolah itu bukan hanya aku. Mereka akhirnya mau menerima usulanku.
Terus terang aku di kelas menjadi cepat populer, bukan karena aku pandai
bergaul. Dibandingkan teman satu kelas tubuhku paling tinggi dan paling besar.
Bukan sombong, aku juga termasuk murid yang pintar. Aku memang serius kalau
belajar, kegemaranku membaca menunjang pengetahuanku.
Kegemaranku membaca inilah yang mendorongku bongkar-bongkar
isi rak buku di kamarku di suatu siang pulang sekolah. Rak buku ini milik Oom
Ton. Nah, di antara tumpukan buku, aku menemukan selembar majalah bergambar,
namanya Popular.
Rupanya penemuan majalah inilah merupakan titik awalku
belajar mandiri tentang wanita. Tidak sendiri sebetulnya, sebab ada ?guru? yang
diam-diam membimbingku. Kelak di kemudian hari aku baru tahu tentang ?guru?
itu.
Majalah itu banyak memuat gambar-gambar wanita yang bagus,
maksudnya bagus kualitas fotonya dan modelnya. Dengan berdebar-debar
satu-persatu kutelusuri halaman demi halaman. Ini memang majalah hiburan khusus
pria. Semua model yang nampang di majalah itu pakaiannya terbuka dan seronok.
Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga hampir seluruh pahanya terlihat,
dan mulus. Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk memperlihatkan bagian
belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku keras berdegup : memakai
T-shirt yang basah karena disiram, sementara dalamnya tidak ada apa-apa lagi.
Samar-samar bentuk sepasang buah kembar kelihatan. Oh, begini tho bentuk tubuh
wanita. Dasarnya aku sangat jarang ketemu wanita. Kalau ketemu-pun wanita desa
atau embok-embok, dan yang aku lihat hanya bagian wajah. Bagaimana aku tidak
deg-deg-an baru pertama kali melihat gambar tubuh wanita, walaupun hanya gambar
paha dan sebagian atas dada.
Sejak ketemu majalah Popular itu aku jadi lain jika memandang
wanita teman kelasku. Tidak hanya wajahnya yang kulihat, tapi kaki, paha dan
dadanya ?kuteliti?. Si Rika yang selama ini aku nilai wajahnya lumayan dan
putih, kalau ia duduk menyilangkan kakinya ternyata memiliki paha mulus agak
mirip foto di majalah itu. Memang hanya sebagian paha bawah saja yang
kelihatan, tapi cukup membuatku tegang. Ya tegang. ?Adikku? jadi keras!
Sebetulnya penisku menjadi tegang itu sudah biasa setiap pagi. Tapi ini tegang
karena melihat paha mulus Rika adalah pengalaman baru bagiku. Sayangnya dada
Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si Ani, demikian menonjol ke depan.
Memang ia sedikit agak gemuk. Aku sering mencuri pandang ke belahan kemejanya.
Dari samping terkadang terbuka sedikit memperlihatkan bagian dadanya di sebelah
kutang. Walau terlihat sedikit cukup membuatku ?ngaceng?. Sayangnya, kaki Ani
tak begitu bagus, agak besar. Aku lalu membayangkan bagaimana bentuk dada Ani
seutuhnya, ah ngaceng lagi! Atau si Yuli. Badannya biasa-biasa saja, paha dan
kaki lumayan berbentuk, dadanya menonjol wajar, tapi aku senang melihat
wajahnya yang manis, apalagi senyumnya. Satu lagi, kalau ia bercerita,
tangannya ikut ?sibuk?. Maksudku kadang mencubit, menepuk, memukul, dan, ini
dia, semua roknya berpotongan agak pendek. Ah, aku sekarang punya ?wawasan?
lain kalau memandang teman-teman cewe.
Ah! Tante Yani! Ya, kenapa selama ini aku belum ?melihat
dengan cara lain?? Mungkin karena ia isteri Oomku, orang yang aku hormati, yang
membiayai hidupku, sekolahku. Mana berani aku ?menggodanya? meskipun hanya dari
cara memandang. Sampai detik ini aku melihat Tante Yani sebagai : wajahnya
putih bersih dan cantik. Tapi dasar setan selalu menggoda manusia, bagaimana
tubuhnya ? Ah, aku jadi pengin cepat-cepat pulang sekolah untuk ?meneliti?
Tanteku. Jangan ah, aku menghormati Tanteku.
Aduh! Kenapa begini ? Apanya yang begini ? Tante Yani!
Seperti biasa, kalau pulang aku masuk dari pintu pagar langsung ke garasi, lalu
masuk dari pintu samping rumah ke ruang keluarga di tengah-tengah rumah.
Melewati ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke kamarku. Isi ruang
keluarga ini dapat kugambarkan : di tengahnya terhampar karpet tebal yang empuk
yang biasa digunakan tante untuk membaca sambil rebahan, atau sedang dipijit Si
Mar kalau habis senam. Agak di belakang ada satu set sofa dan pesawat TV di
seberangnya. Sewaktu melewati ruang keluarga, aku menjumpai Tante Yani duduk di
kursi dekat TV menyilang kaki sedang menyulam, berpakaian model kimono.
Duduknya persis si Rika tadi pagi, cuma kaki Tante jauh lebih indah dari Rika.
Putih, bersih, panjang, di betis bawahnya dihiasi bulu-bulu halus ke atas
sampai paha. Ya, paha, dengan cara duduk menyilang, tanpa disadari Tante
belahan kimononya tersingkap hingga ke bagian paha agak atas. Tanpa sengaja
pula aku jadi tahu bahwa tante memiliki paha selain putih bersih juga berbulu
lembut. Sejenak aku terpana, dan lagi-lagi tegang. Untung aku cepat sadar dan
untung lagi Tante begitu asyik menyulam sehingga tidak melihat ulah
keponakannya yang dengan kurang ajar ?memeriksa? pahanya. Ah, kacau.
Sebenarnya tidak sekali ini aku melihat Tante memakai kimono.
Kenapa aku tadi terangsang mungkin karena ?penghayatan? yang lain, gara-gara
majalah itu. Selesai makan ada dorongan aku ingin ke ruang tengah, meneruskan
?penelitianku? tadi. Aku ada alasan lain tentu saja, nonton TV swasta, hal baru
bagiku. Mungkin aku mulai kurang ajar : mengambil posisi duduk di sofa nonton
TV tepat di depan Tante, searah-pandang kalau mengamati pahanya! ?Gimana
sekolahmu tadi To ?? tanya Tante tiba-tiba yang sempat membuatku kaget sebab sedang
memperhatikan bulu-bulu kakinya. ?Biasa-biasa saja Tante.? ?Biasa gimana ? Ada
kesulitan engga ?? ?Engga Tante.? ?Udah banyak dapat kawan ?? ?Banyak, kawan
sekelas.? ?Kalau kamu pengin main lihat-lihat kota, silakan aja.? ?Terima
kasih, Tante. Saya belum hafal angkutannya.? ?Harus dicoba, yah nyasar-nyasar
dikit engga apa-apa, toh kamu tahu jalan pulang.? ?Iya Tante, mungkin hari
Minggu saya akan coba.? ?Kalau perlu apa-apa, uang jajan misalnya atau perlu
beli apa, ngomong aja sama Tante, engga usah malu-malu.? Gimana kurang baiknya
Tanteku ini, keponakannya saja yang nakal. Nakal ? Ah ?kan cuma dalam pikiran
saja, lagi pula hanya ?meneliti? kaki yang tanpa sengaja terlihat, apa
salahnya. ?Terima kasih Tante, uang yang kemarin masih ada kok.? ?Emang kamu
engga jajan di sekolah ?? Berdesir darahku. Sambil mengucapkan ?jajan? tadi
Tante mengubah posisi kakinya sehingga sekejap, tak sampai sedetik, sempat
terlihat warna merah jambu celana dalamnya! Aku berusaha keras menenangkan
diri. ?Jajan juga sih, hanya minuman dan makanan kecil.? Akupun ikut-ikutan
mengubah posisi, ada sesuatu yang mengganjal di dalam celanaku. Untung Tante
tidak memperhatikan perubahan wajahku. Sepanjang siang ini aku bukannya nonton
TV. Mataku lebih sering ke arah Tante, terutama bagian bawahnya!
Hari-hari berikutnya tak ada kejadian istimewa. Rutin saja,
sekolah, makan siang, nonton TV, sesekali melirik kaki Tante. Oom Ton pulang
kantor selalu malam hari. Saat ketemu Oomku hanya pada makan malam, bertiga. Si
Luki, anak lelakinya 4 tahun biasanya sudah tidur. Kalau Luki sudah tidur,
Tinah, pengasuhnya pamitan pulang. Pada acara makan malam ini, sebetulnya aku
punya kesempatan untuk menikmati? (cuma dengan mata) paha mulus berbulu Tante,
sebab malam ini ia memakai rok pendek, biasanya memakai daster. Tapi mana
berani aku menatap pemandangan indah ini di depan Oom. Betapa bahagianya mereka
menurut pandanganku. Oom tamat sekolahnya, punya usaha sendiri yang sukses,
punya isteri yang cantik, putih, mulus. Anak hanya satu. Punya sopir, seorang
pembantu, Si Mar dan seorang baby sitter Si Tinah. Sopir dan baby sitter tidak
menginap, hanya pembantu yang punya kamar di belakang. Praktis Tante Yani
banyak waktu luang. Anak ada yang mengasuh, pekerjaan rumah tangga beres
ditangan pembantu. Oh ya, ada seorang lagi, pengurus taman biasa di panggil
Mang Karna, sudah agak tua yang datang sewaktu-waktu, tidak tiap hari.
Keesokkan harinya ada kejadian ?penting? yang perlu
kuceritakan. Pagi-pagi ketika aku sedang menyusun buku-buku yang akan kubawa ke
sekolah, ada beberapa lembar halaman yang mungkin lepasan atau sobekan dari
majalah luar negeri terselip di antara buku-buku pelajaranku. Aku belum sempat
mengamati lembaran itu, karena buru-buru mau berangkat takut telat. Di sekolah
pikiranku sempat terganggu ingat sobekan majalah berbahasa Inggris itu, milik
siapa ? Tadi pagi sekilas kulihat ada gambarnya wanita hanya memakai celana
jean tak berbaju. Inilah yang mengganggu pikiranku. Sempat kubayangkan,
bagaimana kalau Ani hanya memakai jean. Kaki dan pahanya yang kurang bagus
tertutup, sementara bulatan dadanya yang besar terlihat jelas. Ah.. nakal kamu
To!
Pulang sekolah tidak seperti biasa aku tidak langsung ke meja
makan, tapi ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci dan mulai mengamati sobekan
majalah itu. Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang tentu saja tidak kubaca. Aku
belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah lembaran itu tertulis:
Penthouse. Langsung saja ke gambar. Gemetaran aku dibuatnya. Wanita bule,
berpose membusungkan dadanya yang besar, putih, mulus, dan terbuka seluruhnya!
Paha dan kakinya meskipun tertutup jean ketat, tapi punya bentuk yang indah,
panjang, persis kaki milik Tante. Hah, kenapa aku jadi membandingkan dengan
tubuh Tante ? Peduli amat, tapi itulah yang terbayang. Kenapa aku sebut
kejadian penting, karena baru sekaranglah aku tahu bentuk utuh sepasang buah
dada, meskipun hanya dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna
coklat, dan di tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar. Segera
saja tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar. Halaman berikutnya
membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita bule yang tadi tapi sekarang
di close-up. Buah dadanya makin jelas, sampai ke pori-porinya. Ini kesempatanku
untuk ?mempelajari? anatomi buah kembar itu. Dari atas kulit itu bergerak naik,
sampai puting yang merupakan puncaknya, kemudian turun lagi ?membulat?. Ya,
beginilah bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar
seperti menunjuk ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak kemudian hari ketika aku
?praktek?. Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Yani! Bagaimana ya bentuk
buah dada Tanteku itu ? Ah, kenapa selama ini aku tak memperhatikannya. Asyik
lihat ke bawah terus sih! Memang kesempatannya baru lihat paha. Kimono Tante waktu
itu, kalau tak salah, tertutup sampai dibawah lehernya. Tapi ?kan bisa lihat
bentuk luarnya. Ah, memang mataku tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha dan
kaki cewe bule ini mirip milik Tante, aku rasa bentuk dadanyapun tak jauh
berbeda, begitu aku mencoba memperkirakan. Begitu banyak aku berdialog dengan
diri sendiri tentang buah dada. Begitu banyak pertanyaan yang bermuara pada
pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada Tanteku yang cantik itu ?
Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat jawaban, di meja
makan. Di pertengahan makan siangku, Tante muncul istimewa. Mengenakan
baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari bahan seperti handuk tapi lebih
tipis warna putih dan ada pengikat di pinggangnya. Tante kelihatan lain siang
itu, segar, cerah. Kelihatannya baru selesai mandi dan keramas, sebab rambutnya
diikat handuk ke atas mirip ikat kepala para syeh. ?Oh, kamu sudah pulang,
engga kedengaran masuknya,? sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku.
?Dari tadi Tante,? jawabku singkat. Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku.
Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh Tante yang
beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Luar biasa! Besar juga buah
dada Tante ini, persis seperti perkiraanku tadi, bentuknya mirip punya cewe
bule di Penthouse tadi.
Meskipun aku melihatnya masih ?terbungkus? baju-mandi, tapi
jelas alurnya, bulat menonjol ke depan. Di bagian kanan baju mandinya rupanya
ada yang basah, ini makin mempertegas bentuk buah indah itu. Samar-samar aku
bisa melihat lingkaran kecil di tengahnya. Sehabis mandi mungkin hanya
baju-mandi itu saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya aku tak tahu.
Bawahnya! Ya, aku melupakan pahanya. Segera saja mataku turun. Kini lebih
jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti diatur, berbaris rapi. Ah aku
sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku ke atas lagi. Mudah-mudahan
ia tak melihatku melahap (dengan mata) tubuhnya. Memang ia tidak
memperhatikanku, pandangannya ke arah lain masih terus asyik merapikan
rambutnya. Tapi aku tak bisa berlama-lama begini, disamping takut ketahuan,
lagipula aku ?kan sedang makan. Kuteruskan makanku. Bagaimana reaksi tubuhku,
susah diceritakan. Yang jelas kelaminku tegang luar biasa. Tiba-tiba ia menarik
kursi makan di sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku. ?Makan
yang banyak, tambah lagi tuh ayamnya.? Bagaimana mau makan banyak, kalau
?diganggu? seperti ini. Aku mengiakan saja. Rupanya ?gangguan nikmat? belum
selesai. Aku duduk menghadap ke utara. Di dekatku duduk si Badan-sintal yang
habis mandi, menghadap ke timur. Aku bebas melihat tubuhnya dari samping kiri.
Ia menundukkan kepalanya dan mengurai rambutnya ke depan. Dengan posisi seperti
ini, badan agak membungkuk ke depan dan satu-satunya pengikat baju ada di
pinggang, dengan serta merta baju mandinya terbelah dan menampakkan pemandangan
yang bukan main. Buah dada kirinya dapat kulihat dari samping dengan jelas.
Ampun.. putihnya, dan membulat. Kalau aku menggeser kepalaku agak ke kiri,
mungkin aku bisa melihat putingnya. Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan
sampai. Betapa tersiksanya aku siang ini. Tersiksa tapi nikmat! Oh Tuhan,
janganlah aku Kau beri siksa yang begini. Aku khawatir tak sanggup menahan
diri. Rasa-rasanya tanganku ingin menelusup ke belahan baju mandi ini lalu
meremas buah putih itu? Kalau itu terjadi, bisa-bisa aku dipulangkan, dan
hilanglah kesempatanku meraih masa depan yang lebih baik. Apa yang kubilang
pada ayahku ? Dapat kupastikan ia marah besar, dan artinya, kiamat bagiku.
Untung, atau sialnya, Tante cepat bangkit menuju ke kamar
sambil menukas: ?Teruskan ya makannya.? ?Ya Tante,? sahutku masih gemetaran.
Aah., aku menemukan sesuatu lagi. Aku mengamati Tante berjalan ke kamarnya dari
belakang, gerakan pinggulnya indah sekali. Pinggul yang tak begitu lebar, tapi
pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh ideal, memang.
Malamnya aku disuruh makan duluan sendiri. Tante menunggu Oom
yang telat pulang malam ini. Masih terbayang kejadian siang tadi bagaimana aku
menikmati pemandangan dada Tante yang membuat aku tak begitu selera makan.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan Tante yang muncul dari kamarnya. Masih
mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya juga masih diikat handuk. Langsung
ia duduk disebelahku persis di kursi yang tadi. Belum habis rasa kagetku,
tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana
nervous-nya aku. Yang jelas penisku langsung mengeras merasakan tindihan pantat
Tante yang padat. Disingkirkannya piringku, memegang tangan kiriku dan
dituntunnya menyelinap ke belahan baju-mandinya. Aku tidak menyia-nyiakan
kesempatan emas ini. Kuremas dadanya dengan gemas. Hangat, padat dan lembut.
Tantepun menggoyang pantatnya, terasa enak di kelaminku.
Goyangan makin cepat, aku jadi merasa geli di ujung penisku. Rasa geli makin
meningkat dan meningkat, dan .. Aaaaah, aku merasakan nikmat yang belum pernah
kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan rasa nikmat tadi,
seperti pipis dan? aku terbangun. Sialan! Cuma mimpi rupanya. Masa memimpikan
Tante, aku jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu membekas sampai
terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana mungkin aku ngompol. Lalu apa dong ?
Cepat-cepat aku periksa. Memang aku ngompol! Tapi tunggu dulu, kok airnya lain,
lengket-lengket agak kental. Ah, kenapa pula aku ini ? Apa yang terjadi
denganku ? Besok coba aku tanya pada Oom. Gila apa! Jangan sama Oom dong. Lalu
tanya kepada Tante, tak mungkin juga. Coba ada Mas Joko, kakak kelasku di ST
dulu. Mungkin teman sekolahku ada yang tahu, besok aku tanyakan.
***
Esoknya aku ceritakan hal itu kepada Dito teman paling dekat.
Sudah barang tentu kisahnya aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di
pangkuanku, tapi ?seseorang yang tak kukenal?. ?Kamu baru mengalami tadi malam
?? ?Ya, tadi malam.? ?Telat banget. Aku sudah mengalami sewaktu kelas 2 SMP,
dua tahun lalu. Itu namanya mimpi basah.? ?Mimpi basah ?? ?Ya. Itu tandanya
kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq. Lho, emangnya kamu belum pernah dengar ??
Malu juga aku dibilang telat dan belum tahu mimpi basah. Tapi juga ada rasa
sedikit bangga, aku mulai dewasa! ?Rupanya kamu badan aja yang gede, pikiran
masih anak-anak.? Ah biar saja. Beberapa hari sebelum mimpi basah itu toh aku
sudah ?menghayati? wanita sebagai orang dewasa! ?Kamu punya pacar ?? ?Engga.?
?Atau pernah pacaran ?? ?Engga juga.? ?Pantesan telat kalau begitu. Waktu kelas
3 SMP aku punya pacar, teman sekelas. Enak deh, sekolah jadi semangat.? ?Kalau
pacaran ngapain aja sih ?? tanyaku lugu. Memang betul aku belum tahu tentang pacaran.
Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari lalu. ?Ha.. ha.. ha.! Kampungan
lu! Ya tergantung orangnya. Kalau aku sih paling-paling ciuman, raba-raba,
udah. Kalau si Ricky kelewatan, sampai pacarnya hamil.? Ciuman, raba-raba. Aku
pernah lihat orang ciuman di filem TV, enak juga kelihatannya, belum pernah aku
membayangkan. Kalau meraba, pernah kubayangkan meremas dada Tante. ?Hamil ??
Pelajaran baru nih. ?Ada juga yang sampai ?gitu? tapi engga hamil. Engga tahu
aku caranya gimana.? ?Gitu gimana ?? ?Kamu betul-betul engga tahu ?? Lalu ia
cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya. Aku jadi
tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul baru tahu saat
ini. Kelamin lelaki masuk ke kelamin wanita, keluar bibit manusia, lalu hamil.
Bibit! Mungkin yang keluar dari kelaminku semalam adalah bibit manusia.
Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk ke lubang pipis wanita ?
Sebesar apa lubangnya, dan di mana ? Yang pernah aku lihat kelamin wanita itu
kecil, berbentuk segitiga terbalik dan ada belahan kecil di ujung bawahnya.
Tapi yang kulihat dulu itu di desa adalah kelamin anak-anak perempuan yang
sedang mandi di pancuran. Kelamin wanita dewasa sama sekali aku belum pernah
lihat. Bagaimana bentuknya ya ? Mungkin segitiganya lebih besar. Ah, pikiranku
terlalu jauh. Ciuman saja dulu. Aku sependapat dengan Dito, kalau pacaran
ciuman dan raba-raba saja. Aku jadi ingin pacaran, tapi siapa yang mau pacaran
sama aku yang kuper ini ? Ya dicari dong! Si Rika, Ani atau Yuli ? Siapa
sajalah, asal mau jadi pacarku, buat ciuman dan diraba-raba. Sepertinya sedap.
Dalam perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana seandainya
aku pacaran sama Rika. Pahanya yang lumayan mulus enak dielus-elus. Tanganku
terus ke atas membuka kancing bajunya, lalu menyelusup dan? sopir Bajaj itu
memaki-maki membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku berjalan terlalu ke tengah.
Di balik kutang Rika hanya ada sedikit tonjolan, tak ada ?pegangan?, kurang
enak ah. Tiba-tiba Rika berubah jadi Ani. Melamun itu memang enak, bisa kita
atur semau kita. Ketika membuka kancing baju Ani aku mulai tegang. Kususupkan
empat jariku ke balik kutang Ani. Nah ini, montok, keras walau tak begitu
halus. Telapak tanganku tak cukup buat ?menampung? dada Ani. Aku berhenti,
menunggu lampu penyeberangan menyala hijau. Sampai di seberang jalan kusambung
khayalanku. Ani telah berubah menjadi Yuli. Anak ini memang manis, apalagi
kalau tersenyum, bibirnya indah, setidaknya menurutku. Aku mulai mendekatkan
mulutku ke bibir Yuli yang kemudian membuka mulutnya sedikit, persis seperti di
film TV kemarin. Kamipun berciuman lama. Kancing baju seragam Yulipun mulai
kulepas, dua kancing dari atas saja cukup. Kubayangkan, meski dari luar dada
Yuli menonjol biasa, tak kecil dan tak besar, ternyata dadanya besar juga.
Kuremas-remas sepuasnya sampai tiba di depan rumah.
Aku kembali ke dunia nyata. Masuk melalui pintu garasi
seperti biasa, membuka pintu tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti
biasa kalau mendapati Tante sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet,
atau menyulam, atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa
adalah, kedua bukit kembar itu. Tante membaca sambil tengkurap menghadap pintu
yang sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak dengan bertumpu pada siku
tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada rendah, rendah sekali. Inipun
tak biasa, atau karena aku jarang memperhatikan bagian atas. Tak ayal lagi,
kedua bukit putih itu hampir seluruhnya tampak. Belahannya jelas, sampai
urat-urat lembut agak kehijauan di kedua buah dada itu samar-samar nampak. Aku
tak melewatkan kesempatan emas ini. Tante melihat sebentar ke arahku, senyum
sekejap, terus membaca lagi. Akupun berjalan amat perlahan sambil mataku tak
lepas dari pemandangan amat indah ini?
Hampir lengkap aku ?mempelajari? tubuh Tanteku ini. Wajah dan
?komponen?nya mata, alis, hidung, pipi, bibir, semuanya indah yang menghasilkan
: cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi berlama-lama. Paha dan kaki,
panjang, semuanya putih, mulus, berbulu halus. Pinggul, meski baru lihat dari
bentuknya saja, tak begitu lebar, proporsional, dengan pantat yang menonjol
bulat ke belakang. Pinggang, begitu sempit dan perut yang rata. Ini juga hanya
dari luar. Dan yang terakhir buah dada. Hanya puting ke bawah saja yang belum
aku lihat langsung. Kalau daerah pinggul, bagian depannya saja yang aku belum
bisa membayangkan. Memang aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat
kelamin wanita dewasa. Aku masih penasaran pada yang satu ini.
Keesokkan harinya, siang-siang, Dito memberiku sampul warna
coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi.
“Nih, buat kamu”
“Apa nih ?”
“Simpan aja dulu, lihatnya di rumah, Hati-hati” Aku makin
penasaran. “Lanjutan pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik” bisiknya.
Sampai di rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk
memeriksa benda pemberian Dito. Tante lagi membaca di karpet, kali ini
terlentang, mengenakan daster dengan kancing di tengah membelah badannya dari
atas ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan
sebagian pahanya tampak, putih. “Suguhan” yang nikmat sebenarnya, tapi
kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul coklat.
Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu kamar, tentunya. Wow,
gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini lembaran tengah suatu
majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman penuh. Wanita bule berrambut
coklat berbaring terlentang di tempat tidur. Segera saja aku mengeras. Buah
dadanya besar bulat, putingnya lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda.
Perutnya halus, dan ini dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang
selama ini kuketahui. Aku tak menemukan “segitiga terbalik” itu. Di bawah perut
itu ada rambut-rambut halus keriting. Ke bawah lagi, lho apa ini ? Sebelah kaki
cewe itu dilipat sehingga lututnya ke atas dan sebelahnya lagi menjuntai di
pinggir ranjang memperlihatkan selangkangannya. Inilah rupanya lubang itu.
Bentuknya begitu “rumit”. Ada daging berlipat di kanan kirinya, ada tonjolan
kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah terbuka sedikit. Mungkin di sinilah
tempat masuknya kelamin lelaki. Tapi, mana cukup ? Oo, seperti inilah rupanya
wujud kelamin wanita dewasa. Tiba-tiba pikiran nakalku kambuh : begini jugakah
punya Tante? Pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin mendapatkan jawaban!
Bagaimana dengan punya Rika, Ani, atau Yuli? Sama susahnya untuk mendapatkan
jawaban. Lupakan saja. Tunggu dulu, barangkali Si Mar pembantu itu bisa
memberikan “jawaban”. Orangnya penurut, paling tidak dia selalu patuh pada
perintah majikannya, termasuk aku. Bahkan dulu itu tanpa aku minta membantuku
beres-beres kamarku, dengan senang pula. Orangnya lincah dan ramah. Tidak
terlalu jelek, tapi bersih. Kalau sudah dandan sore hari ngobrol dengan pembantu
sebelah, orang tak menyangka kalau ia pembantu. Dulu waktu pertama kali
ketemupun aku tak mengira bahwa ia pembantu. Setiap pagi ia menyapu dan
mengepel seluruh lantai, termasuk lantai kamarku. Kadang-kadang aku sempat
memperhatikan pahanya yang tersingkap sewaktu ngepel, bersih juga. Yang jelas
ia periang dan sedikit genit. Tapi masa kusuruh ia membuka celana dalamnya
“Coba Mar aku pengin lihat punyamu, sama engga dengan yang di majalah” Gila!.
Jangan langsung begitu, pacari saja dulu. Ah, pacaran kok sama pembantu. Apa
salahnya? dari pada tidak pacaran sama sekali. Okey, tapi bagaimana ya cara
memulainya ? Ah, dasar kuper!
Aku jadi lebih memperhatikan Si Mar. Mungkin ia setahun atau
dua tahun lebih tua dariku, sekitar 18 lah. Wajahnya biasa-biasa saja, bersih
dan selalu cerah, kulit agak kuning, dadanya tak begitu besar, tapi sudah
berbentuk. Paha dan kaki bersih. Mulai hari ini aku bertekat untuk mulai
menggoda Si Mar, tapi harus hati-hati, jangan sampai ketahuan oleh siapapun.
Seperti hari-hari lainnya ia membersihkan kamarku ketika aku sedang sarapan.
Pagi ini aku sengaja menunda makan pagiku menunggu Si Mar. Tante masih ada di
kamarnya. Si Mar masuk tapi mau keluar lagi ketika melihat aku ada di dalam
kamar.
“Masuk aja mbak, engga apa-apa” kataku sambil pura-pura sibuk
membenahi buku-buku sekolah. Masuklah dia dan mulai bersih-bersih. Tanganku
terus sibuk berbenah sementara mataku melihatnya terus. Sepasang pahanya
nampak, sudah biasa sih lihat pahanya, tapi kali ini lain. Sebab aku
membayangkan apa yang ada di ujung atas paha itu. Aku mengeras. Sekilas tampak
belahan dadanya waktu ia membungkuk-bungkuk mengikuti irama ngepel. Tiba-tiba
ia melihatku, mungkin merasa aku perhatikan terus.
“Kenapa, Mas” Kaget aku.
“Ah, engga. Apa mbak engga cape tiap hari ngepel”
“Mula-mula sih capek, lama-lama biasa, memang udah
kerjaannya” jawabnya cerah.
“Udah berapa lama mbak kerja di sini ?”
“Udah dari kecil saya di sini, udah 5 tahun”
“Betah ?”
“Betah dong, Ibu baik sekali, engga pernah marah. Mas dari
mana sih asalnya ?”Tanyanya tiba-tiba. Kujelaskan asal-usulku.
“Oo, engga jauh dong dari desaku. Saya dari Cilacap”
Pekerjaannya selesai. Ketika hendak keluar kamar aku
mengucapkan terima kasih.
“Tumben.” Katanya sambil tertawa kecil. Ya, tumben biasanya
aku tak bilang apa-apa.
***
“Mana, yang kemarin ?” Dito meminta gambar cewe itu.
“Lho, katanya buat aku”
“Jangan dong, itu aku koleksi. Kembaliin dulu entar aku
pinjamin yang lain, lebih serem!”
“Besok deh, kubawa”
Sampai di rumah Si Luki sedang main-main di taman sama
pengasuhnya. Sebentar aku ikut bermain dengan anak Oomku itu. Tinah sedikit
lebih putih dibanding Si Mar, tapi jangan dibandingkan dengan Tante, jauh.
Orangnya pendiam, kurang menarik. Dadanya biasa saja, pinggulnya yang besar.
Tapi aku tak menolak seandainya ia mau memperlihatkan miliknya. Pokoknya milik
siapa saja deh, Rika, Ani, Yuli, Mar, atau Tinah asal itu kelamin wanita
dewasa. Penasaran aku pada “barang” yang satu itu. Apalagi milik Tante,
benar-benar suatu karunia kalau aku “berhasil” melihatnya! Di dalam ada Si Mar
yang sedang nonton telenovela buatan Brazil itu. Aku kurang suka, walaupun
pemainnya cantik-cantik. Ceritanya berbelit. Duduk di karpet sembarangan,
lagi-lagi pahanya nampak. Rasanya si Mar ini makin menarik.
“Mau makan sekarang, Mas ?”
“Entar aja lah”
“Nanti bilang, ya. Biar saya siapin”
“Tante mana mbak?”
“Kan senam” Oh ya, ini hari Rabu, jadwal senamnya. Seminggu
Tante senam tiga kali, Senin, Rabu dan Jumat. Ketika aku selesai ganti pakaian,
aku ke ruang keluarga, maksudku mau mengamati Si Mar lebih jelas. Tapi Si Mar
cepat-cepat ke dapur menyiapkan makan siangku. Biar sajalah, toh masih banyak
kesempatan. Kenapa tidak ke dapur saja pura-pura bantu ? Akupun ke dapur.
“Masak apa hari ini ?” Aku berbasa-basi.
“Ada ayam panggang, oseng-oseng tahu, sayur lodeh, pilih aja”
“Aku mau semua” Candaku. Dia tertawa renyah. Lumayan buat
kata pembukaan.
“Sini aku bantu”
“Ah, engga usah” Tapi ia tak melarang ketika aku membantunya.
Ih, pantatnya menonjol ke belakang walau pinggulnya tak besar. Aku ngaceng.
Kudekati dia. Ingin rasanya meremas pantat itu. Beberapa kali kusengaja
menyentuh badannya, seolah-olah tak sengaja. ‘Kan lagi membantu dia. Dapat juga
kesempatan tanganku menyentuh pantatnya, kayaknya sih padat, aku tak yakin,
cuma nyenggol sih. Mar tak berreaksi. Akhirnya aku tak tahan, kuremas
pantatnya. Kaget ia menolehku.
“Iih, Mas To genit, ah” katanya, tapi tidak memprotes.
“Habis, badanmu bagus sih”. Sekarang aku yakin, pantatnya
memang padat.
“Ah, biasa saja kok”
Akupun berlanjut, kutempelkan badan depanku ke pantatnya.
Barangku yang sudah mengeras terasa menghimpit pantatnya yang padat, walaupun
terlapisi sekian lembar kain. Aku yakin iapun merasakan kerasnya punyaku.
Berlanjut lagi, kedua tanganku kedepan ingin memeluk perutnya. Tapi ditepisnya
tanganku.
“Ih, nakal. Udah ah, makan dulu sana!”
“Iya deh makan dulu, habis makan terus gimana ?”
“Yeee!” sahutnya mencibir tapi tak marah. Tangannya berberes
lagi setelah tadi berhenti sejenak kuganggu. Walaupun penasaran karena aksiku
terpotong, tapi aku mendapat sinyal bahwa Si Mar tak menolak kuganggu. Hanya
tingkat mau-nya sampai seberapa jauh, harus kubuktikan dengan aksi-aksi
selanjutnya!
Kembali aku menunda sarapanku untuk “aksi selanjutnya” yang
telah kukhayalkan tadi malam. Ketika ia sedang menyapu di kamarku, kupeluk ia
dari belakang. Sapunya jatuh, sejenak ia tak berreaksi. Amboi ..dadanya berisi
juga! Jelas aku merasakannya di tanganku, bulat-bulat padat. Kemudian Si Marpun
meronta.
“Ah, Mas, jangan!” protesnya pelan sambil melirik ke pintu.
Aku melepaskannya, khawatir kalau ia berteriak. Sabar dulu, masih banyak
kesempatan.
“Terima kasih” kataku waktu ia melangkah keluar kamar. Ia
hanya mencibir memoncongkan mulutnya lucu. Mukanya tetap cerah, tak marah.
Sekarang aku selangkah lebih maju!
END
Baca juga
No comments:
Post a Comment