Inilah Indonesia,
negeri yang hipokrit dan suka mencampuri urusan orang lain, sehingga banyak
wanita lajang yang menjadi tidak pede bahkan gelisah tiada tara lantaran
terlalu sering menerima penghakiman semena-mena dan sewenang-wenang.
Lajang tanpa pacaran
akan dibilang frigid atau cuma hobi onani dengan guling. Lajang tapi punya
aktivitas seks dibilang nymphomania, hypersex, lapar penis, dahaga air mani.
Adakah yang salah
dengan kelajangan seorang wanita? Ketika seorang wanita lajang terangsang kala
melihat VCD, majalah, buku dan web erotis,
lantas terangsang,
maka akan dikomentari macam-macam. Tapi seorang wanita yang bersuami, bilamana
terangsang oleh apapun akan dianggap wajar.
Seorang istri
mengoleksi lusinan VCD porno akan dianggap sebagai wanita berbudi yang selalu
belajar melayani suami. Tapi jika seorang wanita lajang punya sekeping VCD,
apalagi adegannya hardcore komplet dari oral, minum sperma, sampai anal sex,
maka akan dianggap sebagai penyimpangan, dan setiap lelaki akan mendekati
dengan harapan akan mendapatkan undangan untuk menyetubuhi dan menghamburkan
mani.
Ketika seorang wanita
lajang dipergoki lagi masturbasi, maka cerita akan menyebar. Tapi ketika
seorang istri onani, maka itu dianggap biasa, paling pol cuma ditambahi guyonan
"dia tak dipuaskan oleh suaminya".
Ketika seorang wanita
lajang kedapatan kencan, dan di bioskop kepergok lagi mengocok batang pasangannya,
maka ceritanya menjadi gosip full of sensasi. Ketika di cafe si lajang
berpakaian sexy, dan kedapatan sedang dipeluk pasangannya dari belakang sambil
tangannya merabai payudara sehingga puting yang mengeras itu menerobos baju,
maka cerita sensasi gosip pun kian menggila. Terpaan macam itu tak menimpa kaum
wanita bersuami.
Menjadi wanita lajang
di Indonesia berarti siap menjadi sorotan, termasuk dari kaumnya sendiri,
karena dianggap menjadi ancaman yang akan merebut pacar/tunangan/suami mereka.
Kalaupun pasangan mereka mau sama si lajang, bukankah itu kelemahan si pasangan,
jadi jangan menuduh si lajang sebagai perebut laki orang dan penguras sperma
laki orang dong!
Siapakah aku?
Aku adalah seorang
wanita Indonesia, hasil persilangan banyak ras. Ada darah chinese, jawa,
belanda, madura dan lebanon dalam diriku. Tinggiku 165 beratku 43-45 (naik
turun). Umurku 35. Tubuhku fit. Pinggulku masih kencang, payudaraku masih
kenyal (aku kan wanita, boleh dong membanggakan ini..). Bulu kakiku sudah aku
matikan di salon (tapi tahun depan harus kembali lagi), ketiakku halus licin
tanpa bulu, namun tanganku kubiarkan berbulu halus (ehmm lelaki menyukainya..).
Aneka pekerjaan pernah
kujalani (kecuali menjadi pelacur, oopss.. sorry). Aku pernah lama di
advertising, PR, broadcasting, event organizer, biro perjalanan. Sekarang aku
menjadi konsultan.
Seringkali aku
mendapat pertanyaan, "Apakah sudah menikah?" Yang lebih sopan,
"Anda masih kelihatan cantik dan muda, alangkah bahagia dan bangganya
suami Anda serta putra-putri Anda."
Jika jawabanku adalah,
"Tidak, saya masih lajang," maka terdengar sahutan,
"Maaf.." Mereka merasa bersalah karena telah menanyakan hal itu.
Padahal tidak punya
suami itu kan sama saja dengan tidak punya mobil pribadi. Tak ada yang salah di
situ. Tak ada yang sifatnya illegal.
Okelah, itu tadi yang
sopan. Ada yang tampaknya sopan tapi menyebalkan, yaitu beberapa orang selalu
berupaya mengenalkan dan mendekatkan aku kepada lelaki tertentu. Menjodohkan
begitu seolah aku ini ayam betina yang butuh pejantan buat dibuahi. Apa
dikiranya aku nggak bisa cari lelaki sendiri? Apa mereka tak ahu banyak lelaki
yang ereksi kala merindukanku bahkan sampai onani untuk memboroskan mani secara
percumah?
Mereka tak tahu, aku
punya banyak kawan lelaki. Mereka tak tahu aku punya banyak teman lelaki untuk
jalan bareng. Memang tak semuanya harus berujung pada kekusutan sprei karena
intimacy adalah soal mau sama mau dan juga mood. Tak kurang jumlah lelaki gagah
yang lengan maupun punggungnya bisa menjadi sasaran penggesekan putingku secara
diam-diam sampai putingku mengeras, dan vaginaku kian melembab.
Ada lagi yang super
menyebalkan. "Kamu ada masalah apa sih? Nggak butuh sex ya? Trauma sama
laki ya, sehingga ngga mau kawin?"
Mereka tak tahu, aku
butuh sex tapi sejauh ini selalu terpenuhi, baik dengan masturbasi maupun
tubuh, otot, peluh dan mani lelaki.
Trauma? Apanya yang
bikin trauma, orang yang namanya orgasme itu bisa bikin ketagihan.
Nggak mau kawin? Ya.
Atau belum mau. Aku masih menikmati kelajanganku, karierku, kebebasanku. Aku
tak mau kawin bukan karena tak bisa punya anak (gynecologist menyatakan aku
subur). Aku ingin bebas. Bisa travelin sesukaku..
Apakah aku menjalani
sex bebas? Tidak, tidak, tidak. Aku tak bisa bersetubuh dengan sembarangan
lelaki. Kalau selalu siap menerima kontol mana saja, itu baru sex bebas
namanya.
Aku butuh dan suka
sex. Aku punya koleksi VCD yang aku borong di Glodok cukup dari mobil. Tapi
setelah mobil berlalu mereka berkerumun sambil menunjuk mobilku -- aku
melihatnya dari spion -- maka aku beralih pesan via internet.
Kalau ke luar negeri
aku memborong edisi khususnya Screw dan Hustler, yang aku masukkan bareng semua
dokumen dalam kardus, sehingga petugas airport tak memergokinya.
Pernah aku membeli
dildo dan vibrator tapi ternyata tertembus oleh X-ray, dan petugas bandra
senyum-senyum melecehkan. Hmm risih juga jadi sasaran pelecehan sexual. Untung
sex toys lainnya yang merupakan oleh-oleh teman masih saja ada dan terus
berdatangan.
Jadi, sudah tidak
perawankah aku?
Ya! Aku kehilangan
virginity tanpa sakit tanpa sesal pada usia 24, dengan wartawan/fotografer yang
setelah mengeksposku akhirnya dekat denganku, pacaran, dan kemudian bubar.
Suka masturbasikah
aku?
Nanti dulu, apa ukuran
"suka" itu? Frequency sekian kali per minggu atau bulan? Kalau
pertanyaannya adalah apakah aku pernah dan masih bermasturbasi maka aku jawab
"ya". Bisa seminggu empat kali, bisa 2 bulan prei, bisa sehari sampai
3 kali karena tiba-tiba horny banget.
Doyan sexkah aku?
Kalau doyan disini
seperti doyan spagehtti dan pizza, yang aku santap 2 bulan sekali, maka
jawabanku adalah "ya". Tapi seperti aku bilang tadi, aku gak main
tubruk lelaki. Ini soal intimacy, padahal binatang saja pakai pilih-pilih dan
menyesuaikan mood (ingatkah kalian kepada panda yang susah berkembang biak?)
Bisa mengoralkah aku?
Ya, tapi tidak dengan
setiap lelaki.
Suka dioralkah aku?
Tentu.
Pernah meminum
spermakah aku?
Pernah, tapi jarang,
hanya dengan someone special -- meski dia suami orang.
Pernah anal sexkah
aku?
Idem ditto.
Pernah threesome atau
lebihkah aku?
Idem ditto, tapi bisa
dihitung dengan jari, itupun lakinya cuma satu, tapi ceweknya lebih dari satu.
Kalau aku harus melayani lelaki lebih dari satu aku merasa sebagai obyek,
sebagai budak sex, dan aku tak sudi.
Banggakah aku dengan
payudaraku?
Mengapa tidak. 34B,
kenyal, mulus, nipples kemerahan, alami tanpa operasi, apa salahnya aku
banggakan, toh aku tak sampai terjebak menjadi eksibisionis.
Bahagiakah aku dengan
segala pesona fisik kewanitaanku?
Tentu. Pubic hair
lurus, tak terlalu tipis seperti anak kecil, tak terlalu tebal seperti rimba
amazon, kubiarkan alami, tanpa pemangkasan. Labia kemerahan, anus yang merah,
pantat tanpa tembong kegelapan adalah milikku.
Lantas apakah yang
sebetulnya ingin aku nyatakan?
Aku tak kelewat
menyembunyikan beberapa segi sexualitasku, tapi juga tak mengumbarkan cerita
kemana-mana.
Rasaku itu sebuah
pilihan yang pas. Akan tetapi apakah yang kudapat? Sebutan hypersex, nympho,
lajang gatal, pelahap kontol, penghirup mani, ratunya seni masturbasi. Anehnya
tudingan itu justru datang dari kaumku, perempuan, terutama yang bersuami, yang
tahu perkecananku.
Lebih kejam lagi
tuduhan bahwa karier dan rezekiku kudapat dengan membaterkan tubuh. Puhh! Enak
aja. Aku profesional, kerja keras. Aku juga menikmati kehidupan.
Di luar jam kerja
kubiarkan stafku, yang mayoritas ceweklajang, untuk menggunakan internet. Mau
chatting silahkan, mau buka gambar dan video porno silahkan karena itu memang
materi buat adults, buat orang dewasa, bukan anak-anak.
Tapi mereka munafik,
pura-pora ogah pornografi. Padahal dari server aku tahu gambar apa yang mereka
pertukarkan, website apa yang mereka kunjungi, tidak termasuk Rumah Seks.
Kubiarkan mereka memergoki monitorku di luar jam kerja menampilkan gambar close
up wanita facial dengan leleran sperma putih encer..
Sex adalah kebutuhan
dan hak semua orang, termasuk wanita lajang. Sepanjang tak memperkosa dan
memaksa orang maka itu bukan kejahatan. Tiga kali aku merenggut keperjakaan
pria muda, usia SMP, SMU dan mahasiswa. Tapi itu bukan pemerkosaan dan
pemaksaan. Mereka yang suka rela dan kemudian ketagihan.
Tak ada yang aneh
dengan sex. Mau sehari onani tiga kali sampai lecet, atau tiga bulan nggak
mikirin sex, buatku sah-sah saja. Tak ada hubungannya dengan normal maupun
nyimpang.
Karena itu wahai
wanita, terimalah kelajangan kalian dan jalanilah sexualitas kalian dengan
nikmat. Tubuh kita dan gairah kita adalah milik kita. Hanya kita yang berhak
memanagenya, bukan masyarakat sekitar kita.
Hak kita untuk
memainkan dildo dan vibartor ke liang memek maupun dubur kita. Hak kita untuk
onani sambil menikmati VCD. Bukankah itu tak merugikan masyarakat dan negara?
Hak kita pula untuk tidak melakukan aktivitas erotik karena tidak mood, tidak
nafsu, bahkan tidak ingat ada yang namanya S-E-X dalam hidup in!
Menjadi lajang itu
bahagia, bahkan mungkin lebih bahagia daripada mereka yang bersuami. Peluh
lelaki, kontol pria, sperma laki, orgaseme kita dengan jeritan tertahan dan
rentetan kata-kata tabu bukanlah tujuan hidup. Itu hanya salah satu [sic!] sarana
untuk mencapai kesenangan dan kebahagiaan.
Kaumku wanita lajang,
terima dan nikmatilah sex apa adanya dengan atau tanpa lelaki di sisi kita,
diatas tubuh kita, diatas ranjang kita..
Menjadi lajang berarti
bebas dari tuduhan selingkuh, karena siapakah yang kita khianati? Tubuh kita,
payudara kita, memek kita, cairan kita, adalah milik kita, bukan aset yang
dikuasai oleh lembaga lain.
Tubuh kita, nafsu
kita, fantasy kita, bukanlah aset konglomerat yang disita oleh BPPN. Semuanya
milik kita, dalam sepenuhnya kontrol kita.
Akan tetapi jika
kalian melajang karena terpaksa, lantaran tak ada pria yang tertarik, sehingga
dicap sebagai perawan tua karena nyatanya masih virgin tentulah hal itu sama
sekali lain ceritanya.
Itu kelajangan yang
bukan oleh pilihan, bukan oleh kemerdekaan. Itu lajang sebagai hasil konstruksi
masyarakat bahwa setiap perempuan harus bersuami, rela disetubuhi dan dibuahi
kapanpun, dan itu merupakan contoh buruk dalam kehidupan wanita modern.
TAMAT
Baca juga
No comments:
Post a Comment