Aku hanyalah gadis
biasa, meski banyak orang yang bilang kalau aku cantik. Dan di usia 19 tahun
ini, aku sudah menikah dengan seorang laki-laki bernama Ferdi. Bagaimana aku
bisa menikah dengannya? Itu semua karena kakek Ferdi.
Orang tuaku meninggal
saat aku masih SMA. Mereka mengalami kecelakaan beruntun di jalan tol. Karena
orang tua Ferdi sudah menjadi teman baik orang tuaku, maka dengan senang hati
mereka menganggapku sebagai anaknya juga. Mereka berharap aku bisa menjadi keluarga
mereka dengan menikahi Ferdi. Tapi itu tidaklah mudah.
Aku dan Ferdi tidak
pernah akrab sejak pertama kali bertemu. Sifatku yang dingin ini, membuatku
menjaga
jarak dengannya.
Bahkan ketika aku pindah ke sekolah yang sama dengannya, tidak ada yang
mengetahui bahwa kami tinggal dalam satu atap.
Hingga setengah bulan
yang lalu saat aku sudah hampir selesai kuliah, kakek Ferdi sakit dan ingin
melihat kami menikah. Aku tidak mau, tentu saja. Tapi apa kau bisa menolak
keinginan mereka-mereka yang sudah mengasihanimu? Tentu saja tidak!
Akhirnya aku menikah
dengan Ferdi dan setelah itu kesehatan kakek semakin membaik. Ia memberikan
sebuah apartement kepada kami berdua untuk ditinggali.
Tentang Ferdi, aku
memang menjaga jarak dengannnya. Ia adalah laki-laki yang populer. Begitu
banyak wanita yang mendekatinya dan itu membuatku muak! Kenapa aku selalu
bersikap dingin kepadanya? Itu karena aku bukan gadis-gadis bodoh seperti
mereka.
Jika kalian bertanya
apakah aku mencintai Ferdi, aku tidak tahu. Tapi yang jelas aku menyukainya.
Mungkin terlalu menyukai hingga ia selalu datang dalam mimpiku dan menjadi
fantasiku. Menjadi karakter di setiap tokoh yang kutulis.
Ya, aku suka menulis
di blog pribadiku. Mungkin dengan begini aku bisa menghidupkannya walau dalam
imajinasiku. Karena terus terang, rumah tangga yang kujalani saat ini sangat
terasa hambar. Mungkin salah satu sebabnya itu aku, dan aku terlalu egois untuk
bertindak lebih dulu.
Hari ini aku bangun
lebih pagi. Seperti biasa, kubuatkan sarapan untuk Ferdi. Setelah selesai
masak, aku pergi ke kamarnya. Ini kebiasaan buruknya. Ia tidak bisa bangun pagi
dan mengharuskanku untuk membangunkannya.
Ah, ada yang lupa.
Selama ini aku dan dia tidur di kamar yang terpisah. Ini keinginanku. Entahlah
kenapa aku selalu menjaga jarak dengannya, mungkin aku merasa tidak pantas
untuknya.
Kubuka tirai kamarnya
kemudian menghampirinya. Sesaat aku terdiam menatapnya. Jika kau bertanya siapa
orang paling tampan di dunia ini, maka dengan pasti aku akan menjawab itu
suamiku.
“Fer, bangunlah!!” aku
menggoyang-goyang tubuhnya pelan, “Ferdi,”
Laki-laki itu tidak
bergerak sama sekali. Ok, ini tidak biasanya. “Ferdi!!” kuguncang dengan keras
tubuhnya. Tidak ada reaksi.
Aku mulai khawatir.
Kusibak selimutnya, “Fer, bangunlah,” kutepuk-tepuk pipinya, “Fer... uwaaaa...”
aku menjerit kaget saat sepasang tangan kekar menarikku hingga jatuh di atasnya
kemudian berguling hingga kini ia menghimpitku.
“Fer, apa yang kau
lakukan?!” teriakku, tapi laki-laki itu tidak menjawab dan malah membenamkan
wajahnya ke dalam leherku. Jantungku terasa berhenti berdetak. Tuhanku... apa
yang terjadi? Tapi kemudian ia membebaskanku dengan berguling ke samping. Ia
menggeliat pelan sambil menguap lebar-lebar.
“Kenapa kau ada
disini?” tanyanya bingung saat melihatku ada di sebelahnya.
Aku bangun sambil
mendengus pelan, “Sarapanmu sudah kusiapkan,” ucapku datar, kemudian keluar
dari kamarnya. Aku kembali ke kamarku dan masuk ke dalam kamar mandi. Astaga,
kenapa jantung ini berdebar begitu keras?!
Setelah mandi, aku
makan bersama dengannya. Hal ini sangat jarang kami lakukan. Biasanya aku lebih
dulu pergi ke kampus jika ada kuliah pagi.
“Apa itu?” tanyanya
sambil menatap sayuran yang kumakan.
Aku menatapnya heran.
Tidak biasanya ia berbicara saat makan. “Kau mau?” tanyaku ragu.
Ferdi memajukan
tubuhnya sambil membuka mulutnya, tanda ingin aku menyuapinya. Ada apa
dengannya hari ini?
Dengan ragu aku
menyuapkan sayur itu ke dalam mulutnya. Ia mengunyah pelan kemudian tersenyum,
“Terima kasih,” katanya pelan.
Dan aku, hanya bisa
terpaku melihatnya.
Sialan, pikiranku
benar-benar tidak bisa fokus. Tingkahnya hari ini sangat aneh. Hingga kuliahku
selesai aku masih terus memikirkannya. Ada apa dengannya hari ini? Atau ada apa
denganku?
Aku masuk ke dalam
apartement dan melihatnya sedang asyik main psp. Sepertinya ia tidak ada kelas
hari ini. Oh ya, selain menjadi mahasiswa, Ferdi juga bekerja sampingan sebagai
penulis lagu. Dan kuakui suaranya benar-benar memabukkan.
“Sudah pulang?”
tanyanya.
Aku mengerutkan
keningku. Tidak biasanya dia bertanya seperti ini. “Ya,” jawabku pelan.
“Aku lapar, bisa
membuatkan makanan untukku?” tanyanya lagi.
“Tunggu sebentar,”
sahutku.
Aku menukar pakaianku
kemudian membuatkannya mie, setelah itu aku masuk ke dalam kamarku. Kubuka
laptopku dan mengecek blogku. Aku mengerutkan kening saat mendapati sebuah
tulisan yang kubuat sangat mirip dengan yang dilakukannya hari ini. Ini tidak
mungkin terjadi... aku menepis bayangannya dan mulai masuk ke dalam imaginasiku
dimana dia hanya menjadi milikku seorang.
Entah berapa lama aku
menulis, tubuh ini terasa pegal. Kurenggangkan tubuhku sambil melirik jam.
Pukul delapan. Ternyata sudah malam.
Kudengar pintu kamarku
terbuka, aku tahu itu dia, “Ada apa?” tanyaku tanpa menoleh ke arahnya.
“Apa kau sedang
menulis?” ia bertanya.
Aku terdiam sesaat,
bagaimana dia bisa tahu jika aku suka menulis?
“Kenapa? Kau heran aku
mengetahuinya... citraciki?”
Kali ini aku langsung
menoleh ke arahnya. Bagaimana bisa dia tahu nama Id-ku di blog?! “k-kau...
tahu?” tanyaku bingung.
Dia tersenyum sambil
berjalan lambat menghampiriku, membuatku gugup.
“Aku tidak tahu kalau
aku selalu menjadi fantasimu, nona Citra Kirana... apa kau begitu
menginginkanku?”
Aku membeku
mendengarnya, “Kau tidak suka?”
“Ya, aku sangat tidak
suka! Mengapa kau begitu dingin dihadapanku, sedangkan selalu berimajinasi
bersamaku di tulisanmu?”
Aku hanya menelan
ludahku. Apa yang harus aku jawab?
“Bagaimana dengan
tingkahku tadi? Apa sudah mirip dengan skenario yang kau tulis?”
Aku terheyak
mendengarnya. Jadi dia memang sengaja?! “Kau membaca tulisanku?” tanyaku tidak
percaya.
Ferdi tersenyum
berbahaya, “Ingatlah untuk memberi pasword pada laptopmu,”
”Well, thanks,”
“Hanya itu? setelah
menjadikanku object fantasimu dan kau hanya bilang terima kasih?!” tanyanya
sambil naik ke tempat tidur, mendekatiku.
“Lalu apa maumu?”
tantangku.
Dia mendorongku dengan
kasar hingga aku jatuh ke tempat tidur, menyingkirkan laptopku kemudian duduk
di atas pahaku. “Sekarang, aku ingin kau mengikuti skenario yang kubuat,”
ucapnya sambil mendekat ke wajahku hingga kini ia menghimpit tubuhku.
“Dan ini sekenarioku,”
bisiknya pelan, membuat tubuhku menegang mendengarnya. “Bagaimana menurutmu?
Kau takut?”
“Tidak!” jawabku tegas
sambil menatap matanya.
“Benarkah?” ia
tersenyum setan.
“Aku punya status,
Fer. Statusku adalah istrimu, jadi aku tidak takut dengan apa yang kau
lakukan!”
“Itu bagus, jadi aku
bisa dengan lancar membuat skenario ini denganmu,”
Aku memalingkah
wajahku ke samping. Aku benci melihat tatapannya yang bisa membuatku luluh
seketika. Sepertinya ia bisa mendengar jantungku yang menghentak keras.
Kesalahan pertama! Itu malah membuatnya leluasa untuk mengecup leherku.
Ada rasa aneh yang
menjalar ketika bibirnya menyentuh kulit leherku. Membuat syaraf-syaraf di
tubuhku lumpuh. Kugigit bibir bawahku. Tanganku mencengkeram kaos di pinggir
pinggangnya.
Ferdi menggigit kulit
leherku lembut kemudian menghisapnya kuat, membuatku menutup mata erat-erat.
Decakan-decakan bibirnya yang menjelajahi leherku terdengar begitu
menggairahkan. “Mmmhhh... Hhhh...” desahnya begitu merdu terdengar di telingaku
membuat perutku seperti diaduk-aduk.
Bibirnya bergerak
pelan ke tengah leherku membuatku mendongak, memudahkannya untuk menyusurinya.
Detak jantungku mulai tidak beraturan. Nafasku mulai tersegal. Bibir Ferdi
terus merambat ke sisi lain leherku dan semakin naik ke atas, ia menggigit
lembut telingaku. Terpaan nafasnya yang hangat, nyaris membuatku hilang
kendali.
“Jangan ditahan...”
bisiknya sepelan angin. “Ayo kita bernyanyi bersama, dan saling menulis
skenario di atas tubuh ini,”
“Oooohh...”
pertahananku hancur saat tangannya meremas dadaku lembut. Rasanya ada ribuan
kupu-kupu yang terbang di dalam perutku. Aku menggeliat pelan dalam dekapannya.
Ia masih terus meremas dada kiriku sementara bibirnya masih menyusuri leher
bagian belakang telinga kananku.
”Nngghhh...” desahnya
lembut disela-sela bunyi decakan dari kecupannya.
Tiba-tiba saja ia
bangun sambil menarikku. Kini kami berdua dalam posisi duduk dengan dia duduk
di pahaku. Dilepasnya kaos longgar yang kupakai, kemudian tangannya bergerak ke
belakang bersama dengan bibirnya yang mengecupi setiap inci bahuku.
“Nngghh... hhhh...”
desahku pelan. Bibirnya merambat ke tengkukku dan berhenti di satu titik,
membuat cupang disana. Kuhirup aroma tubuhnya yang lembut. Kukecup lehernya pelan.
ia mendesah semakin keras. Lalu kugigit dengan lembut.
“Aaaaarrrrggh...”
erangnya tertahan. Tangannya bergerak membuka kait braku kemudian membuang
benda itu entah kemana. Dan dengan cepat ia melepaskan kaosnya sendiri kemudian
mendorongku untuk kembali tidur.
ia mencium keningku
lembut. Mataku, pipiku, hidungku kemudian bibirku. Ciuman pertamaku...
ditekannya lembut bibirku. Aku merasa jantungku sudah berhenti saat merasakan
lidahnya menjilati bibirku, membasahinya. Ia melumat lembut sambil menekannya
semakin dalam, membuatku tergoda untuk membalasnya.
“Mmmhh...”
desahan-desahan kami terdengar kontras bersama decakan-decakan bibir kami yang
memenuhi ruang kamarku itu.
Aku merasakan lidahnya
mencari celah untuk masuk ke dalam mulutku. Kubuka mulutku, membiarkan lidahnya
masuk untuk bertemu lidahku. Saling membelit dan bertukar air liur. Bibirnya
terasa sangat manis dan lembut, membuatku ingin terus mengulumnya. Kuhisap
lidahnya di mulutku dan ia menjerit tertahan. Sesekali ia memberi jeda untuk kami
mengambil nafas selama dua detik.
Tanganku terangkat
mengusap punggung telanjangnya yang basah oleh keringat. “Nnggh... Fer...” aku
merasakan jari telunjuknya menari-nari diatas kedua buah dadaku. Seperti ular
yang menyusuri permukaannya dengan tarian gemulainya. Kemudian diremasnya
payudara sebelah kiriku lembut.
“Aaaahhh...” aku
menggeliat dalam himpitan tubuhnya. Bibir Ferdi turun ke bawah mencium
daguku... leherku... ia mengecupi belahan dadaku sebelum akhirnya ia menjilati
puting dada kananku. Dikulumnya puting payudaraku dan dimainkannya dengan lidah
di dalam mulutnya, sementara ia masih meremas payudara kananku dan
memilin-milin putingnya. Memutarnya sambil menekan-nekannya lembut.
“Sssshhh...” perutku
terasa diaduk-aduk semakin cepat. Bagian bawah pada tubuhku berkedut-kedut
dengan cepat. Kakiku tidak bisa diam dan terus bergerak menggesek kakinya.
Ferdi menyedot
putingku kuat-kuat kemudian menggigitnya dan mengunyahnya renggang-renggang,
membuat buah dadaku itu mengeras. Kemudian ia berpindah ke sebelah kanan dan
melakukan hal yang sama. Aku meremas rambutnya yang halus. Dalam
imaginasiku-pun dia tidak seperti ini.
Tiba-tiba ia
melepaskan hisapannya kemudian bangun dan melepaskan hotpansku beserta
celananya sendiri. Aku memejamkan mataku tidak ingin melihat tubuh kami yang
telanjang. Entahlah aku merasa sangat malu saat melihat ia menatap tubuh
polosku.
Ia menindih tubuhku
lagi, “Berbaliklah...” bisiknya pelan di telingaku.
Secara reflek otakku
mengikuti bisikannya dan berbalik hingga kini aku tengkurap. Ia menyibak
rambutku dan mengecupi tengkukku. “Nngghh... Fer... aah...” tanganku meremas
seprei. Bibirnya masih membuat cupang saat tangannya menyusup ke depan dan
memilin putingku lagi. “Aaasshh...” aku mendesis tertahan.
“Mmmmhh... hhh...”
desah Ferdi terdengar jelas di telingaku, nafasnya yang berat seolah memancing
nafsuku. Ia menggigiti daun telingaku dan mengecupi bahuku, punggungku.
Aku bisa merasakan
miliknya yang ujungnya berlendir menari-nari di atas pantat bawahku.
Menggeseknya pelan seirama gerakan tubuhnya. Puas ia mengecupi seluruh
punggungku, tangannya menarikku untuk berbalik menghadapnya lagi. Ia melumat
bibirku lagi. Mengemut atas dan bawah bergantian. “Nnghh...” aku mendesah
merasakan penisnya yang kali ini menggesek-gesek pahaku. Kurenggangkan kakiku
sedikit kemudian menjepit penisnya dengan kedua pahaku.
“Aaaaaarrrghhh...” ia
melepaskan ciumannya dan mengerang hebat. Ferdi beranjak dari tubuhku kemudian
menarikku untuk bangun. Ia bersandar di headboard ranjang dan meletakkan
tanganku di penisnya, “Puaskan aku, Cik... hhh...”
Aku hanya diam.
Tanganku gemetar, ini pertama kalinya aku melakukannya. Rupanya Ferdi tidak
sabar. Ia menggenggam tanganku dan menuntunku untuk mengocok miliknya. Kuremas
perlahan penisnya, “Aaaahhh... terus seperti itu...” desahnya sambil memejamkan
mata.
Aku mengikuti
gerakannya, kemudian ia melepaskan tangannya membiarkanku melakukannya sendiri.
Penisnya terasa sangat keras, urat-urat syarafnya yang menegang terlihat jelas.
Ada cairan bening yang keluar dari ujung penisnya yang berkerut karena
terangsang. “Aaaahh... terus, sayang... aaah...” racaunya. “Yaah... seperti
itu... hhhh...”
Tiba-tiba tangannya
memegang kepalaku dan mendorongnya pada penisnya, memaksaku untuk menciumnya. Kuikuti
sekenario yang diinginkannya. Kukecup ujung penisnya yang basah. Ia mendesah
semakin keras.
Kujilati ujungnya,
kemudian turun ke bawah. Kugelitiki kantung zakar-nya dengan lidahku kemudian
kukulum dan kusedot kuat-kuat. “Aaaarrghh... Ciki sayang... ooohhh...” dapat
kurasakan tubuhnya yang menegang. Tangannya meremas kuat rambutku.
Kukecupi permukaan
penisnya dengan lembut kemudian kumasukkan ke dalam mulutku, kukulum naik turun
dengan irama teratur. Kugelitiki lubang penisnya dengan lidah di dalam mulutku
seperti yang dilakukannya pada putingku tadi. Kubelah lubang yang berkerut itu
dan kumasukkan ujung lidahku.
“Cik... oooh... itu
sangat nikmat... hhh...” rintihnya. Kuemut terus penisnya naik turun, kuhisap
kuat-kuat. Kemudian aku merasa miliknya berdenyut kuat dan,
“Aaaaaaarrrrgghhhhhh…” Ferdi melenguh bersama dengan cairan yang menyemprot
keluar dari penisnya. Cairan putih kental yang langsung menerobos ke
tenggorokanku, membuatku hampir tersedak.
Ia menarik tubuhku ke
atas dan melumat bibirku, membersihkan cairannya yang tersisa di bibirku. Kali
ini ciumannya begitu lembut, tidak menuntut. Kemudian ia berguling ke samping
hingga aku yang berada dibawah kini. Ia melepaskan ciumannya dan meraih daguku,
mengecupnya, kemudian terus turun ke bawah, ke arah leherku. Lalu ia mengecupi
belahan dadaku sementara kedua tangannya memilin kedua putingku.
“Aaaahh... oooh...
sssh...” aku meggeliat pelan. Ciumannya terus turun ke bawah. Ke perutku. Ia
berhenti sejenak sambil membenamkan wajahnya di perutku. Nafas hangatnya terasa
sangat nyaman. Kuusap lembut kepalanya, kemudian ia duduk sambil merenggangkan
kakiku. Membuka pahaku. Teramat pelan, ia mengecup pahaku bagian bawah.
“Aaaahh... sshh...“
tubuhku menggelinjang merasakan bibirnya yang seperti keong, merayap menelusuri
pahaku dan semakin jelas kemana bibirnya akan mengarah.
“Oooohh... Fer...
aaah...” Kini bibirnya sampai di selangkanganku dan ia mulai menjilat dengan
lidahnya. Jantungku bergemuruh, berdetak seakan-akan ingin meledak. Vaginaku
berdenyut-denyut cepat merasakan sensasi jilatannya.
“Oooohh...” Ia
menjilat daging vaginaku yang sudah membengkak. Kemudian membelah lipitannya
dan menggelitik klitorisku. Dikecupinya kemudian disedotnya kuat-kuat.
“Aaaaakkh...” aku
menggelinjang sambil mengalungkan kakiku pada lehernya. Menekan kepalanya
semakin dalam ke miss V-ku.
“Mmmmhh...” lidahnya
turun ke bawah, menyapu lubang vaginaku yang basah dan becek. “Aaaah...
Ferdii... uuughh...” aku meremas rambutnya sambil menjepit kepalanya dengan
pahaku. Lidahnya masih menari-nari di sekitar lubang vaginaku, kemudian teramat
pelan lidah itu menyeruak, masuk ke dalam lubang vaginaku.
“Aaaakkh...” aku
menjerit tertahan. Ia menyedot kuat lubang vaginaku dan menggelitiki bagian
dalamnya dengan lidahnya yang menari dengan lincah.
“Aaah... aah... Fer...
aah...” kurasakan sesuatu ingin meledak dari dalam tubuhku. “Aaaaaarrgh...” aku
melenguh dan mengeluarkan cairan dari vaginaku. Miss V-ku berdenyut lambat
dengan kuat. Apa ini? Kenapa rasanya sungguh teramat nikmat?
Ferdi masih menjilati
miss V-ku, merasakan rasa dari cairanku yang keluar barusan saja. Lalu ia
mengusap cairan itu dengan jarinya dan mengoleskannya di bibirku, memasukkan
jarinya ke dalam mulutku. Kukulum jari tangannya seperti aku mengulum
juniornya. Ia mendesah pelan kemudian menarik lagi jari tangannya dari mulutku,
menggantinya dengan bibirnya. Kami berciuman lagi sambil bermain lidah. Kakiku
masih memeluk lehernya dan dibawah sana, kurasakan ujung penisnya sedang
menggesek-gesek permukaan miss V-ku.
“Aaah... mmhh...”
decekan-decakan bibir kami terdengar begitu menggairahkan. Dan sekarang,
bagiku, suara yang paling indah di dunia adalah suara desahannya.
“Aaaaakkh... hhmff...”
aku menjerit tertahan saat merasakan penisnya menerobos masuk ke dalam lubang
vaginaku. Ferdi lekas membungkam mulutku dengan ciumannya. Rasanya perih,
seperti luka saat kau setelah jatuh.
“Hhhh... ngghhh...”
aku meringis menahannya sambil menggigit bibir Ferdi.
“Aaaah...” Ferdi
mendesah sambil berusaha memasukkan penisnya di bawah sana.
Air mataku mengalir
tanpa kusadari. Rasanya penar-benar perih. Tanganku sampai menjambak keras
rambutnya. Ferdi terus mendorong miliknya hingga masuk sepenuhnya ke dalam
vaginaku. Rasanya penuh sesak dan perih. Ia melepaskan ciumannya dan menjilat
bekas air mataku.
“Maafkan aku...”
bisiknya di telingaku. Ia diam sebentar sambil merapikan rambutku yang
berantakan di dahi. Kemudian perlahan, digerakkannya pinggulnya naik turun
dengan teramat pelan.
“Uuuggh... aaah...
Ferdii...” desahku sambil menggigit kulit lehernya. Sensasi yang ditimbulkannya
benar-benar tidak bisa dinalar.
“Hmmhh... hhh...
aah...” penisnya menggesek dengan tempo lambat. Rasa perih itu tertutupi dengan
rasa baru yang ditimbulkannya, yang anehnya ternyata nikmat.
“Aaaahh... Fer...
mmhh... teruskan...” racauku. Aku seperti hilang akal. Pikiranku menguap entah
kemana. Yang kurasakan saat ini, kami telah menjadi satu, dan aku sudah menjadi
istri yang sesungguhnya. Namun ini adalah sekenario yang dibuatnya. Entah aku
harus merasa bahagia atau tidak, yang jelas, kugunakan waktu ini untuk
menikmati saat-saat indah bersamanya.
“Oooouughh... aaah...
Citra... oooh...”
Aku sangat suka
mendengar desah suaranya. Kuusap peluh yang ada di dahinya dengan lembut. Ia
mempercepat tempo gerakannya, membuatku menggelinjang. “Fer... aaah... aah...
ngghh...”
Penisnya menggesek
dinding vaginaku dan menghentak kuat di mulut rahimku, menyentuh G-spot ku.
“Aaaah... ssshh... mmmh...” aku merintih.
“Hhhh... oooh...
aaahh...” Ferdi ikut mendesis.
“L-lebih cepat, Fer...
oooh... uuugh...”
Dihisapinya kulit
leherku sementara ia semakin mempercepat gerakannya. “Aaaah... uummhh...”
pinggulku bergoyang mengikuti gerakannya. Bunyi benturan alat kemaluan kami
terdengar sangat menggairahkan.
“Aaaahhh... sayang...
ooh...”
“Lebih dalam, Fer...
ssssh... aaah... aaah...”
“Aaaakhh... Citra...
ooh... ssshh...”
Ia memperdalam
tusukannya dan mempercepat gerakannya. Ada yang ingin meledak sama seperti saat
pertama tadi. Tapi ini lebih kuat. Ruangan terasa panas, padahal jendela kamar
tidak pernah kututup. Tubuh kami sudah basah dan lengket oleh keringat juga
cairan-cairan dan air liur dari kecupan-kecupan.
Tubuh Ferdi mengejang.
Ia semakin kuat menghentak ke dalam vaginaku. Ujung penisnya membentur keras
dinding rahimku. Vaginaku terasa semakin sesak karena batangnya yang semakin
membengkak.
“Aaaah... uuumhh...
aahh... sshhh...”
“Fer, ooh... aah...
ahh... aah...”
“Aaaahh... aah...
aaaaaaaaarrrgghh…” tepat dimana titik itu melebihi batas maksimum, seperti
terjadi ledakan pada kami bersamaan dengan suara lenguhan kami.
Tubuh kami berdua
mengejang. Vaginaku berdenyut begitu kuat saat melepaskan cairan orgasmeku.
Begitu juga dengan Ferdi. Spermanya mengalir deras di dalam rahimku. Rasanya
geli dan hangat sekali. Ia menyandarkan kepalanya di dada kiriku. Nafas kami
naik turun. Kami diam sejenak untuk menikmati sisa-sisa orgasme yang masih
melanda. Vaginaku masih terasa berdenyut-denyut pelan, memijit batang penisnya.
Tuhan... seindah
inikah skenario yang dibuatnya untukku? Sampai kapan keindahan ini akan
bertahan?
Ferdi menarik lepas
penisnya kemudian tidur telentang di sebelahku. Aku menarik selimut dengan
kakiku untuk menutupi tubuh kami. Kemudian memiringkan tubuh membelakanginya.
Dengan nafas yang belum stabil dan denyutan di vagina yang belum berhenti, aku
memejamkan mata.
Tiba-tiba kurasakan
tangannya melingkari perutku, memelukku dari belakang dengan erat hingga
punggungku menempel pada dadanya. “Terima kasih,” bisiknya lembut kemudian
mengecup puncak kepalaku.
Aku mengerjapkan
mataku pelan. Tubuhku terasa letih, juga perih di bagian vaginaku. Seketika aku
tersentak bangun saat mengingat apa yang sudah terjadi. Tangan Ferdi yang
memeluk perutku seketika jatuh, membuatnya bergerak pelan dalam tidurnya. Aku
menarik selimut untuk menutupi bagian depan tubuhku yang masih terbuka.
“Sayang...” gumam
Ferdi sambil meraba-raba tempat di sebelahnya. Ia membuka sedikit salah satu
matanya. “Ada apa?” tanyanya dengan suara serak sambil mencoba meraih tubuhku,
tapi ia belum sepenuhnya sadar hingga hanya menggapai-gapai selimut di dekat
pinggangku.
“Skenariomu sudah
selesai, Fer, sekarang pergilah,” ucapku dengan suara bergetar tanpa menoleh ke
arahnya.
Hening... aku
merasakan Ferdi bergerak dan tiba-tiba saja tangannya sudah melingkar di
perutku. Ia menyandarkan dagunya di bahuku yang terbuka. Mengecup leherku
lembut. “Belum selesai...” bisiknya pelan.
“Apa maksudmu?” aku
bertanya.
“Aku ingin terus
membuat skenario ini selamanya bersamamu... skenario hidup kita...”
“Denganku?” tanyaku
ragu, apa dia tidak salah bicara?
“Iya, denganmu,”
tegasnya. “Aku ingin membuatnya denganmu, hanya denganmu, Citra... apa kau
bersedia melakukannya bersamaku? Memulai semuanya dari awal? Membuat skenario
hidup kita berdua, saling melengkapi bagian-bagian yang kurang bersama-sama,”
“Apa ini kontrak kerja
untukku?” tanyaku masih curiga.
“Ya... kontrak seumur
hidup.” bisiknya pelan sambil menghembuskan nafasnya yang hangat ke batang
leherku. “dan syarat-syaratnya, kau harus menjadi milikku, harus mencintaiku,
harus menyayangiku, harus menerimaku sebagai suami seutuhnya dan tidak boleh
menatap laki-laki lain. Juga sebaliknya, aku harus mencintaimu, menjagamu,
bersumpah tidak akan pernah menyakitimu, dan tidak akan ada gadis lain selain
dirimu,”
“Bukankah itu
kedengarannya seperti terpaksa?!”
“Memang, tapi aku
senang melakukannya, Cik. Aku mencintaimu...”
“Jadi... kau sudah
mulai mencintaiku?”
“Bukan, aku sudah
mencintaimu dari dulu... sejak kau pertama masuk ke rumahku, kau juga telah
masuk ke dalam hidupku... ke hatiku.”
Aku menoleh ke
belakang dengan terperangah. Ia tersenyum lembut. “Bagaimana bisa?” tanyaku tak
percaya.
“Saat itu, aku masih
mempelajari skenario yang kau buat,” jawabnya.
Aku memeluknya erat,
“Ferdi sayang... ayo kita rancang skenario hidup kita bersama-sama...”
Dia membelai kepalaku
lembut, “As your wish, honey. I love you…“
“Aku juga, Fer… I love
you too.” bisikku pelan.
Dia mengecup kulit
leherku pelan. Reflek aku mendesah, dan ia semakin liar mengecupi leher dan
bahuku. “Ayo kita mandi,” bisiknya sambil mengangkat tubuhku, membawaku ke
kamar mandi.
***
Ferdi baru saja pulang
dari kampus dan melihat keadaan apartemen yang sedang kosong. Perutnya terasa
lapar. Diketuknya pintu kamar Citra. Tidak ada jawaban. Perlahan dibukanya,
tidak terkunci. Ia masuk dan melihat kamar itu kosong. Sebuah laptop yang
menyala menarik minatnya.
Dihampirinya benda itu
kemudian dilihat isinya. Ia terdiam saat melihat blog pribadi Citra Kirana.
Tangannya bergerak-gerak di atas keyboard dan ia menemukan sebuah file yang berisi
tulisan-tulisan tangan sang istri. Ia terdiam sejenak kemudian mengambil sebuah
flashdisk dari dalam ranselnya dan mengopy semua isi folder itu. Kemudian ia
keluar dari kamar Citra dan menunggu gadis itu pulang.
Setiap malam dibacanya
tulisan-tulisan tangan Citra itu dengan diam. Hingga pada akhirnya, ia
memutuskan untuk memulainya lebih dulu. Karena ia yakin, Citra Kirana juga
mencintainya.
Ferdi pertama kali
mengenal gadis itu saat ibunya membawa Citra untuk tinggal bersamanya. Ia
memang gadis yang tertutup dan sedikit dingin pada Ferdi. Tapi justru malah itu
yang membuat Ferdi tertarik kepadanya. Gadis itu berbeda... Ferdi ingin melihat
bagaimana ekspresi Citra karena selama ini hanya wajah datar gadis itu yang
dilihatnya.
Banyak hal yang dilakukannya.
Mulai dari menggandeng banyak gadis, bergonta-ganti pacar, hanya sekedar untuk
melihat bagaimana reaksi Citra. Namun nihil. Hingga pada akhirnya ia meminta
bantuan sang kakek. Dan sang kakek sangat mendukungnya. Tidak hanya membuat
Citra menjadi pacarnya, kakek malah langsung meminta Citra untuk menikah dengan
Ferdi.
Melihat ekspresi
Citra, Ferdi berpura-pura sangat terpaksa dengan pernikahan itu. karena ia
tidak ingin Citra membencinya. Jika Citra tahu Ferdi yang memintanya, ia tidak
akan pernah mau. Setengah tahun mereka menjadi pasangan suami istri namun gadis
itu tetap menjaga jarak darinya. Hingga akhirnya Ferdi menemukan apa yang
sebenarnya ada dalam fantasi Citra. Dan hal itu yang membuatnya berani
melakukan interaksi lebih dulu. Citra Kirana kini benar-benar menjadi
miliknya...
TAMAT
Baca
juga
No comments:
Post a Comment