Seumur-umur, baru kali
ini aku menginjakan kaki di Rumah Sakit jiwa, sebuah gedung yang telah berdiri
sejak jaman penjajahan dulu. Langkahku adalah langkah yang ragu, menapaki jalan
demi jalan dari parkiran menuju sebuah ruangan melewati koridor-koridor yang
hening.
Dan bukan tanpa sebab
aku datang ke sini. Aku datang hendak menemui seorang pasien perempuan, yang ku
ketahui melalui orang-orang, bahwa perempuan tersebut adalah salah satu korban
pemerkosaan dari kerusuhan antar etnis yang pecah beberapa tahun lalu.
Perempuan tsb, kini
hidup sebatang kara. Hanya berteman Tuhan dan jiwanya sendiri. Semua harapannya
telah sirna, mati
bersama kedua orang tua dan asap-asap yang membumbung dari api yang melumat
tempat tinggalnya.
Aku telah sampai di
kamarnya ..
Sungguh, aku tak ingin
melihatnya lebih dekat, tak juga ingin aku melihatnya lebih jauh. Aku hanya
melihatnya dari balik jendela, dengan mata yang nanar dan perasaan yang miris
dalam hati. Sesosok perempuan yang telah terpinggirkan oleh kehidupan, ia hanya
diam terduduk di tepian ranjang dengan kepala yang di cengkram oleh cakar-cakar
tajam dari masa lalu.
Matanya menatap tapi
tak melihat, hanya menerawang mencari tahu sejauh mana jarak antara orang-orang
di luar sana dengan teriakannya yang semakin tak terdengar.
Itu Tya .. temanku
dulu sewaktu SMA, Tya tak hanya menjadi teman, perempuan itu juga pernah
menjadi pacarku, yang akhirnya kami berpisah setelah sama-sama lulus SMA.
Karena pihak dan kerabat terdekat keluargaku tak menyetujui aku berhubungan
dengan perempuan dari etnis tertentu.
Ku geser langkahku,
ingin aku menatap wajah dan matanya ..
Seharusnya aku tak
merasakan hal yang seperti ini, harusnya aku sudah berada di rumah bersama
istri juga bidadari kecil ku. Namun ada sesuatu di balik bening mata itu, tentang
terbenamnya matahari dan memory yang menyentak masa lalu ku ..
Waktu itu, sepuluh
tahun yg lalu ..
“eh ujan .. !!” teriak
Tya kala itu, tatkala mendung telah menurunkan hujannya di saat kami belum
sampai di rumah sepulang dari sekolah.
“sini .. Yaa !!” kata
ku seraya meraih lengannya dan menuntunnya ke sebuah dangau (saung) yg terletak
tak jauh dari tepi jalan yang biasa kami lewati setiap berangkat atau pulang
sekolah.
Sebuah dangau panggung
berdinding bilik bambu milik pak Imron, yg sepertinya telah di tinggalkan
pemiliknya, karena mungkin mereka sudah menebak bahwa hujan akan segera
mengguyur.
Tya, atau Seftya Wida,
adalah tetangga ku, rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumah nenekku,
karena sewaktu SMA aku tinggal di rumah nenek ku di sebuah desa yang masih asri
dan jauh dari pusat perkotaan, sementara kedua orang tua ku sibuk bekerja di
Jakarta. Sebenarnya, kalo aja aku tidak nakal, orang tua ku tak’kan
menyekolahkanku di sini (kampung nenek ku). Kini aku hampir 3 tahun menetap di
desa ini, dimana jarak yang ku tempuh untuk sampai di sekolah hampir 5 kilo-an.
Harus menggunakan angkutan desa pula, yang kala itu ongkosnya masih 300 perak,
belum lagi aku harus berjalan sejauh lebih dari 3 kilo meter melintasi jalan
yang memisahkan kampung ku dengan jalan beraspal yang menghubungkan antar desa
dan pusat kota.
Minggu-minggu pertama
aku tinggal di sini adalah mimpi buruk yang tak ingin ku alami, sampai akhirnya
aku berkenalan dengan Tya, Sang Bunga desa, dan mimpi-mimpi buruk itu pun
berubah menjadi mimpi yang indah.
Tak sulit bagiku untuk
menaklukan hatinya dengan wajah ini, dan hanya beberapa minggu kami berkenalan,
kami telah menjalin hubungan lebih dari sekedar pertemanan, meski aku harus
menerima perlakuan yang kurang menyenangkan dari para pengagum Tya. I don’t Care
..
Sepasang mata Tya yang
memendar teduh itu begitu sejuk di pandang, di sempurnakan dengan garis wajah
yang lembut dan harmonisasi dari bibir dan hidung yang terpadu menyenangkan,
menjadikan Tya sebagai salah satu dari warna pelangi di antara warna pelangi
yang lainnya. Tingginya semampai, yg ketika berdiri, tak ubah nya seperti bunga
lili di atas hamparan savana, dan angin-angin genit yang sengaja membelai
rambut hitam legamnya yang panjang, menarik setiap hati para kurcaci di kiri
dan kanannya, agar mendendangkan qasidah-qasidah cinta yang indah untuk Setya
Wilda.
” awas sepatu kamu
basahh .. !!” saranku padanya, sementara aku mulai melepaskan tali temali
sepatu hitamku, lalu melepaskan kedua sepatu dan menjijingnya masuk bersamaku
ke atas dangau. Tya pun menyusulku sembari menjinjing sepatunya dengan lengan
kiri.
Iseng-iseng aku
periksa pintu dangau pak Imron tsb, kali aja tak terkunci.
Dan ternyata benar
saja, pintu yang terbuat dari kayu itu tak terkunci hanya menutup erat karena
di himpit karet-karet ban.
” ech .. ga ke konci
Ya .. ” ucapku seraya membuka pintu yang tebuat dari kayu tsb.
” jangan Vid .. nanti
di omelin lho .. ” cegah Tya
” agh .. gapapa, gada
orang ini kok, lagian enakan di dalem, ga kedinginan !! ” tukas ku, sambil
terus membukanya, bahkan kini aku memberanikan diri, melongokan kepalaku ke
dalam dangau tsb.
Gelap !! tak ada
penerangan sedikit pun, selain sisa-sisa cahaya sore ini yang menyelinap payah
melalui celah bilik.
” sini Ya .. ” ajakku
sambil melangkahkan kaki lebih dalam lagi.
Tanpa menjawab, Tya
mengekor di belakangku meski sebenarnya aku tahu, ia ragu melakukannya.
Sesampainya di dalam,
ku nyalahkan lighterku dan menyorotkan sinarnya ke beberapa bagian dalam dangau
tsb, berharap menemukan media penerangan.
” I get it .. !!” aku
bergumam begitu melihat sebuah lampu minyak yang terpojok di sudut dekat
cangkul dan peralatan berkebun lainnya. Segera saja ku raih alat penerangan
tsb, dan tanpa berpikir panjang ku sulut sumbunya.
” taraa .. ” ku
tunjukan lampu minyak itu pada Tya, yang sedari tadi hanya terdiam menggigil di
belakangku.
” kalo beginikan
keliatan cakepnya .. xixixi ” candaku padanya yang langsung di balasnya dengan
cibiran di bibir yang tipis menggemaskan.
Ku letakan lampu tsb
di lantai dangau yang juga terbuat dari bambu yang di anyam sedemikian rapih
dan kokoh. Sejurus kemudian, ku raih 2 lembar daun pisang yang tersandar tak
jauh dari kami dan memberikannya satu pada Tya sementara yang satu lagi untuk
ku sendiri.
” buat apaan nih ?! “
” buat duduk lah neng,
masa buat di makan ” jawabku sembari meletakan pantatku pada lantai yang telah
ku lapisi dengan daun pisang.
Tya pun menurutinya,
duduk bersimpuh menghadap lampu minyak yang berada di tengah kami, sementara
gemuruh hujan makin deras, di sertai salakan petir dan cahaya kilat yang
mendebarkan.
Aku teringat pada
sebatang rokok di dalam tas ku dan sebenarnya, saat ini adalah saat-saat yang
menyenangkan untuk menikmati asap tembakau tsb. Namun keinginan itu harus ku
pupus, mengingat Tya sangat tak suka pada asap rokok. Dan untuk beberapa menit
ke depan, kami hanya berbincang dan bermain tebak-tebakan yang garing.
” tebak nih yaah,
Bagaimana caranya memasukan gajah ke dalam kulkas ?? ” aku memulai tebakan ku.
dan aku yakin kalo Tya tak’an bisa menjawabnya.
” engggg .. ” Tya
berfikir dengan kening yang berkerut, sesekali menggoyangkan kepalanya ke kiri
dan ke kanan, membuat rambutnya berayun mengikuti gerakan kepalanya. Imut
banget sihh dia, kaya sengaja mengundang tangan ku untuk menjamah
kelembutannya.
” di potong-potong aja
tuh gajahnya .. hehe ” jawabnya ngasal.
” salah .. !!”
” terus ?! gimana ?!
aku ga tau ..”
” mo tau ga jawabannya
?! “
” iya !! “
” jawabannyaaaa ..
buka pintu kulkasnya, masukin gajanya terus tutup lagi dech pintunya .. kelar
(selesai) kan !!”
” lhaa emangnya bisa,
kan enggak muaat ?! “
” yang aku tanyain kan
caranya bukan, muat atao engga muatnya .. xixixi “
” ahhh dasaaarrr !!
Dapot “
Dapot bukanlah namaku,
melainkan nama asli ku (David) yang di plesetkan. Dan Tya kerap menyebutnya
untuk meledekku.
” nihh lagiii yaaa !!
Gimana caranya masukin kuda ke dalem kulkas ?! “
” buka pintu (kulkas)
nya, masukin kudanya, terus tutup lagi dech .. hahaha .. iya khaan ?! “
” SALAAAHHH !! “
” kok salah ?! trus
apa dong jawabannya ?! “
” buka pintu
(kulkasnya) keluarin dulu gajahnya, kan tadi di dalemnya ada gajah, nah kalo si
gajah udah keluarrr .. baru degh masukin kuda-nya !! hahaha “
” ahhhh “
” nihh satu lagii,
satuuuu lagiii “
” iyaa apa ?! “
” Gajah sama Kuda,
kalo balap lari, menangan siapa ?! “
” Hmmm .. yaaa kuda
lhaa .. kan kuda binatang pelari, sementara gajah bukan, dan bertubuh tambun
pula, bener khann ?! “
” salah lagi … !! “
” kok salah meluluuu
seeehh ?! “
” jawabanyaaaa ..
adaaalaaaahhh GAJAH. kenapa gajah, selambat-lambat apapun si GAJAH berlari,
pasti dia akan sampai duluan di garis finish, karna si kuda masih ada di dalem
kulkas, belom kamu keluarinnn .. iyaaa kaannn !!! hahahahaaaaa “
” pertanyaannya masih
nyambung yaaaa .. ihh dia maachh .. ” Tya jengkel mendengar jawabannya, saking
jengkelnya, dia mencabut bulu kaki ku.
” adaaooww sakiiittt
!! ” sergah ku seraya memburu tangannya, dan ..
Aku begitu erat
menggenggam tangannya, pun genggamannya semakin serat dalam genggamanku. Juga
pandangan kami, pandangan kami semakin erat.
” ehemm .. ” Tya
berdehem, seraya melepaskan genggamannya perlahan dan membuang pandangannya ke
bawah. Sejurus kemudian, ia merapihkan rambutnya. Makin bertambah cantik dia ..
bertambah burem pula otak ku ini. Ku singkirkan lampu minyak di depanku,
menggesernya agak ke tengah, lalu meringsek mendekati si cantik yang masih
tertunduk malu.
Ku ambil lagi lengan
kirinya dengan kedua tangan ku, dan ia pun memberikan di sertai pandangan yang
begitu teduh ke arahku. Cukup lama aku mengecup, punggung tangannya, hingga
akhirnya ..
” aku sayang sama kamu
Ya !! ” ujar ku sambil tetap menggenggam lengannya.
” aku juga sayang sama
kamu .. David jelekk ” balasnya terkekeh.
Sementara, bisikan
setan yang berbaur dalam aliran darahku, membuat tubuhku makin beringsut
beberapa centi lagi ke arahnya. Hingga kami tak berjarak lagi, dan ku angkat
kedua kakinya lalu ku tumpangkan di atas kedua paha ku, setelah sebelumnya, ku
singkap beberapa centi rok abu-abu tsb. Usai menumpangkan kedua kakinya di atas
pahaku, ku tarik lebih dalam tubuhnya, dengan kedua tangan yang ku lingkarkan
di punggungnya. Seketika itu juga, ku sodorkan muka ini, ke wajahnya, seriring
tatapan kami yang tak henti-henti, bibir-bibir kami pun bertemu dan mulai
merasakan hangat tubuh masing-masing.
Sementara Tya
mengalungkan sepasang lengannya di tengkuk ku, ku pagut lebih keras bibir
bawahnya, hingga terdengar lenguhan dan terendus wangi nafasnya yang berjejalan
masuk ke dalam tenggorokan ini. Tak lama kemudian, ku lumat seluruh permukaan
bibirnya, ku poles semuanya dengan lidah dan ludah dan dengusan itu semakin
nyata di telinga ku di antara gemuruh hujan-hujan di luar sana. Hingga akhirnya
lidah kami pun bersua, saling mengecap dan melilit seiring dekapan dadaku yang
menghimpit buah dadanya yang ingin segera ku remas.
Sesekali kami
melepaskan ciuman kami dan menatap satu sama lain, dan kembali memagut
bibir-bibir yang tampak mengkilap dan terbias cahaya dari api yang menjadi
saksi, bagaimana cinta memperbudak perasaan-perasaan anak manusia.
Ku seret lidahku
menuju telinganya untuk segera meniupkan beberapa kata-kata cinta ke dalam
jiwanya, tak terkecuali nafas-nafas hangat yang akan memerindingkannya.
” Tya sayang ga ama
David ?! ” tanya ku dalam bisik tepat di ujung liang telinganya.
Dan si cantik hanya
mengangguk pelan sambil mengeratkan dekapannya dalam pelukku.
Berkali-kali Tya
mendesah tatkala ujung lidah ku menggelitik dan menjilati daun dan bagian
belakang telinganya. Sementara di bawah, Tya makin menggesek-gesekan
selangkangannya tepat di mana penis ku makin mengeras tak tertahankan, aku pun
sesekali membalas gesekan tsb sambil tetap menjilati telinganya yang tak
bergiwang (anting). Usai bermain-main dengan daun telinga si cantik, ku
lanjutkan rangsanganku padanya di bagian leher dan sesekali menciumi wangi
dagunya. Terus dan terus ku turunkan cumbuanku, lalu membenamkan wajah ini di
antara payudaranya yang masih terlindung. Ku lepaskan rangkulanku yang
melingkar di punggungnya.
Kedua lenganku mulai
menyelinap ke dalam baju seragamnya lewat belakang, menggerayang lembut
sisi-sisi punggungnya kanan kiri, kemudian meringsut ke atas dan melepaskan
pengunci BRA-nya. Punggung si cantik agak sedikit merebah ke belakang, karena
dorongan dari keningku yang menempeli dadanya. Ku tarik lenganku dari tali
behanya yang telah terlepas untuk menjemput sepasang payudara milik kembang
desa di balik sana.
” oouuucchh !! ” jelas
terdengar desahannya, begitu kedua lengan ini telah sampai di payudaranya,
payudara yang masih kencang dan halus.
Beberapa menit ku
remas buah dadanya itu, si cantik mulai melucuti kancing-kancing seragamnya
sendiri, dari bawah ke atas. Bertambah senanglah hati ini, karena kini bentuk
payudaranya terpampang jelas di mataku setelah sebelumnya ku singsingkan BRA
berwarna beige tsb. Kedua puting dan aerolanya masih begitu imut-imut dan
segar. Sejenak ku mainkan bagian tsb dengan ujung-ujung kuku-ku sementara si
cantik memperhatikannya dengan mata yang makin meredup. Sejurus kemudian, ku
tempelkan bibirku di sana, ku kecup mesra kedua putingnya silih berganti.
” oouuucchhh … !!
ssscchhh .. !!! ” si cantik mendesah begitu ku kulum puting sebelah kirinya,
sementara puting sebelah kanannya terpilin jari-jari ku.
Selesai menyusu di
kedua payudara itu, ku rebahkan lagi tubuh si cantik. Sambil terus mencumbu
sesenti demi sesenti perutnya, ku rebahkan terus tubuhnya.. terus dan terus ..
hingga punggungnya menyentuh lantai.
Tak mau seragamnya
kotor oleh remah-remah, Tya meraih selembar daun pisang untuk melapisi lantai,
lalu kembali membaringkan tubuhnya pada lantai yang telah di alasi daun pisang
tsb.
Mendapati Tya sudah
memberikan “kepasrahannya”, ku renggangkan jarakku dengannya. Beringsut sedikit
ke belakang seraya memegangi kedua tungkai kaki mulusnya, sepasang kaki indah
yang di hiasi sedikit bulu-bulu yang menggoda. Ku seret cengkramanku menuju
selangkangannya, praktis, rok abu-abu-nya pun ikut tersingkap. Terus dan terus
ku singkap, hingga menemukan celana dalam berwarna pink yang membalut area
kewanitaannya dan degup jantungku pun semakin tak keruan. Semakin dalam
cengkramanku bergeser, semakin melebar pula jarak antara kedua pahanya.
Dan kini bagian itu
terpampang jelas, bagian tersensitive dari tubuh seorang kembang desa. Paha dan
selangkangannya begitu mulus, hingga tak henti-hentinya mata ini memandang dan
mengagumi, betapa Tuhan begitu sempurna mengukir setiap lekuk pada tubuh Tya. Ku
julurkan kepalaku ke tengah pahanya yang masih ku genggam, membuat jarak yang
cukup, agar kepala ini bisa menjulur lebih dalam lagi, lagi dan ..
Ku endus celana yang
masih membungkus vaginanya, aromanya begitu membuat otak ku keruh dan mengeras.
Hingga akhirnya ku sentuhkan satu jari ku di celana berbahan tipis tsb. Jelas
terasa bulu-bulu kemaluannya yang berbaur bersama kehangatan dan sejenak aku
mainkan ujung telunjuk ini di bagian tsb, tanpa lupa untuk terus menjejalkan
aroma celana dalamnya ke dalam paru-paru ku.
Puas memainkan
telunjuk pada permukaan vaginanya, kini, ku singkap bagian dalam celana tsb,
bagian yang tepat menutupi belahan vagina si cantik. Makin tersesatlah benak
ini dalam nafsu yang sudah bercokol dan mencengkram ubun-ubunku dengan ganas.
Berhubung cahaya yang kudapati tak cukup, ku ambil lampu minyak dan
mendekatkannya di dekat vagina si cantik, agar bisa terlihat lebih jelas lagi.
Tak ada pujangga yang bisa mendeskripsikan perasaanku, tatkala cahaya dari
lampu minyak menerangi vagina tsb dengan lebih jelas. Bulu-bulunya terbilang
lebat, bahkan ada beberapa yang tumbuh hingga ke bagian bawah dekat anus. Makin
ku lebarkan bagian yang tersingkap tsb, maka semakin jelaslah bahwa labia
majora si cantik telah merona, dan aku tak segan-segan untuk membelah lipatan
labia tsb dengan dua jari, telunjuk dan jari tengah. Sejenak ku perhatikan
bagian-bagian dalamnya, dan si cantik sedikit tersentak tatkala ujung
telunjukku menyentuh kelentit (clitoris) nya.
Sejurus kemudian, aku
tempelkan ujung lidah ku pada “kerang berbulu” tsb, lalu menguas-uaskannya
perlahan, sebelum akhirnya ku dengar Tya mendesis dan menggerinjing kegelian.
Dan terakhir yang ku sadari adalah, penis ku makin membesar di dalam sempak
yang makin menyempit. Detik demi detik, Tubuh si cantik makin menggeliat tak
tertahankan lantaran sapuan lidahku makin brutal menjilatinya, bahkan tak
jarang, ku pilin klitorisnya dengan lidah yang lembab dan cinta yang hangat.
Sementara hujan agak
sedikit mereda, dan gelegar halilintar tak lagi ada, ku sambangi wajah si
cantik untuk mengulum dan menuai lagi cinta di bibirnya yang sedari tadi tak
capek-capeknya mendesah. Kini, sambil terus mencumbuinya, ku buka ritsleting
celana ku dan membebaskan penis ku, dalam sekejap, segera saja ku todongkan ke
arah Miss.V-nya. Sedikit kuraba dengan ujung kepala penisku, akan dimana
liangnya berada sampai akhirnya ku temukan dan ..
” ssscccchhh aaahhhhh
.. !! ” desah Tya tatkala mulai ku jejalkan vaginanya yang hangat dengan penis
yang masih ku genggam. Vagina Tya sudah tak perawan lagi, beberap hari yang
lalu baru saja aku mengambilnya. Dan ini, ini adalah kali ketiganya, ku gagahi
si cantik Seftya Wildan, si bungsu dari 2 bersaudara yang kembar. Ya .. dara
yang tengah ku setubuhi ini memiliki saudara kembar. Sofia Wildan namanya, sama
cantiknya, sama indahnya .. dan hal yang membedakan si kembar ini adalah tahi
lalat. Bila Fia memiliki setitik tahi lalat di bawah mata kirinya, maka Tya tak
memiliki setitik pun tahi lalat di wajahnya.
” ummmppff …Daaa vviii
iiddd .. !! aduuuhhhh .. ” desahnya lagi, sementara vaginanya terus ku sumpal
perlahan dengan kepala si Djenggo.
Dapat dan jelas ku
rasa, hangat vagina si cantik menjalar ke seluruh pelosok tubuh melalui
kulit-kulit penis ku yang menyeruak pelan dinding vaginanya yang bergerinjal
dan lembab. Ku tekan .. terus ku tekan, sesenti demi sesenti .. sehela demi
sehela dan cinta itu semakin merapatkan jiwa kami, ketika ku rasa bulu-bulu
kemaluan kami telah bertemu. Dan dengan kedua lengan, ku raih tengkuknya setelah
itu, setelah penisku masuk seutuhnya ke dalam dekapan liang persenggamaan sang
primadona desa. Ia pun melingkarkan kedua lengannya di punggungku sementara
dinding-dinding dalam vaginanya mendekap lembut batang kejantananku. Ini begitu
hangat .. ini begitu sempit, tak terlalu berbeda ketika ia mengulum penisku
dengan mulutnya kemarin malam dalam kamarnya. Di mulai dari tempo yang pelan,
ku goyangkan pinggulku. Bergerak menusuk dan tanpa henti, merasakan bulu-bulu
kemaluannya bergesekan dengan jembut-jembutku hingga si cantik makin
mengeratkan rengkuhannya pada tubuh ini.
Kuluman kami, seirama
dengan melodi-melodi yang mengalir di atas langit. Melodi-melodi dari tangga
nada yang di ciptakan sang dewi bulan kepada para kurcaci-kurcaci peniup
terompet di kaki langit. Sementara di bukit mawar, ribuan peri menjinjing
harpa, membawa syair dan kasidah cinta untuk kami dendangkan, selepas bulan
mencumbui bintang dan matahari menggagahi taman dalam jiwa kami. Tya .. bawalah
kupu-kupu ini, karena taman dalam hatiku hendak berbunga.
Entah apa yang
kurasakan, bahkan sang pujangga pun tak mampu mendeskripsikannya melalui kata
dan kata, dan para pelukis malam pun tak mampu melukiskannya dengan cahaya
bulan. Aku dan Kau, mari bersama kita petik buah terlarang itu, di ujung sana
.. !!
Ku lepas cumbuan ini
dan menatap tatapan matanya, seperti anak burung yang menemukan kembali
induknya selepas badai dan topan mendera tak habis-habis. ” Aii .. ganti posisi
yuk ?! ” pinta ku sejurus kemudian.
Serta merta, pemilik
paras nan elok ini, perlahan melepaskan rengkuhannya pada tubuhku. Dan aku pun
melepaskan dekapan pada tubuh hangatnya. Ku balikan tubuh Tya, dan ia
menangkapnya cerdas. Ia menungging, memberikan bongkah mulus pantatnya padaku
tanpa lupa untuk melebarkan kedua jarak sepasang kaki-nya yang jenjang. Kembali
ku persiapkan si Djenggo, namun setelah itu, aku malah merubah pemikiran ku.
Legit pemandangan yang ku dapat, mengundang selera untuk menjilatinya sejenak.
Ku rekahkan belahan
pantatnya dan menemukan pusaran lubang yang pasti lezat bila ku telusupkan si
Djenggo ke dalamnya. Sejenak, ku takjubi bagian terindah itu di susul juluran
lidah dan birahi yang memompa jantungku lebih berdetak cepat. Badan si cantik
sedikit bergidik ketika ku tempelkan ujung lidahku di lubang tsb, hingga akhirnya
ia bisa membiasakan diri dengan rangsangan ini.
Cukup membaluri anus
si cantik dengan lidah dan ludah, kini, giliran telunjuk ku yang mengambil
peran tsb. Ku gelitik lubang pantatnya dengan ujung telunjukku bahkan sejurus
kemudian, telunjuk ini mulai berani ku telusupkan ke dalamnya. Semili demi
semili, terus ke jejalkan jari ku ini, dengan sesekali menggoyangkannya pelan
dan mesra. Dapat kurasa, dinding-dinding anus sang juwita bergerak-gerak,
seperti mengurut dan memijat dengan dorongan ke arah keluar, namun, aku tetap
menusuknya lebih dalam. Satu jari telah masuk dengan sempurna, kini ku
lanjutkan dengan telunjuk dari tanganku yang lain. Seperti telunjuk yang telah
masuk dengan sempurna, ku jejalkan telunjuk kiri ku ke dalam anusnya hingga
benar-benar sempurna, sementara Tya masih setia dengan tunggingannya.
Sejurus setelah itu,
ku dekatkan wajah dan mataku. Kemudian, dengan berjuta rasa penasaran ku
lebarkan jarak kedua telunjukku yang telah masuk dengan sempurna, praktis,
lubang mungil yang terjejal dua telunjuk ini pun merekah.
” ccuuuhh ” Ku ludahi
rekahan liang tsb berkali-kali. Lalu kumainkan kedua telunjuk ini di dalamnya
sejenak, sebelum akhirnya ku lepaskan keduanya secara serentak bersamaan.
Tak peduli lagi
terhadap waktu yang semakin menjauh, dan menggelapkan hari. Kini sudah
waktunya, ku jejalkan si Djenggo menuju destinasi-nya. Aku bertopang pada kedua
lutut untuk mengarahkan kepala penisku menghadap liang pelepasannya dan ..
” sssssccccchhhh … !!!
” desahnya seiring batang kejantananku yang mulai menyeruak dinding-dinding
liang duburnya yang begitu sempit.
” oouuuccchhh ..
Tyyyyyaaaa .. !! ” ku panggil namanya dalam ribuan kenikmatan dan desahan yang
mengerang.
Dinding-dinding yang
hangat ini begitu mencengkram, begitu “hidup”, bergerak memijat dan memanjakan
si Djenggo dengan “kulumannya” yang menghantarkan ribuan kenikmatan teruntuk
jiwa dan raga. Jujur aku tak kuat menghadapinya, dubur si cantik terus
menghisap dan menarik si Djenggo untuk berlabuh lebih dalam lagi.
” ooouugghh .. Tyaaa
.. Tyaaa .. “
” aduuuhhh ..
uuuuuuuhhhhhhhhhh ” aku mendesah tak kuasa. Ku rubuhkan dadaku di punggungnya,
lalu merengkuh dan merangkul, sementara dubur si cantik masih terus menghisap
dan bergerak di sekujur batang kejantananku. Hingga akhirnya, aku benar-benar
tak bisa menahan lagi. Kenyotan lubang pelepasan Tya menarik keluar semua sari
pati dalam tubuhku.
”
aaaarrrrgggggggghhhhhh … !!! ” eram ku tepat di dekat telinganya ketika
semburan pertama sperm ku mulai mengisi liang anusnya. Lagi dan lagi sperma itu
terus menyemburat memenuhi liang si cantik yang kini menolehkan wajahnya. Ku
cumbu .. ku kulum, dan ku kucurkan “roh-ku” ke dalam mulutnya melalui bibir
yang semanis al-manna.
Puas melampiaskan
birahiku pada lubang yang tak di rancang untuk bersenggama, ku cabut batang
kemaluan ku dan bersimpuh di atas selembar daun pisang, seraya mengatur nafas
yang tak beraturan. Sementara Tya, ia membalikan badannya untuk berjongkok dan
menghadap ke arahku.
” sakit tauu !! ”
keluhnya sembari meringis dan mengelus bagian tubuhnya yang baru saja ku
gagahi.
Aku tak bisa
menanggapinya, selain dengan tersenyum. Tubuh in benar-benar meleleh, tak
bertulang, ingin rasanya aku merebahkan diri dan tertidur pulas di sini bersama
pelukan si cantik Tya, tapi itu tak mungkin, karena kami harus segera pulang
selagi hujan telah reda. Sesaat kemudian aku bangkit, dan meraih dua lutut si
cantik. Dengan kedua tanganku, ku lebarkan lagi jarak kedua kakinya lalu
mendekatkan wajah ini ke arah selangkangannya. Setelah itu, kembali ku raba
anus-nya dengan ujung telunjuk, sekali lagi, ku rasa liang pelepasan sang
primadona desa berkedut kegelian. Perlahan ku tusukan jari tengahku ke dalamnya
(anus) sementara ibu jari ku “kuperintahkan” untuk menyambangi klitorisnya dan
menggosoknya lembut.
Seakan sengaja
“memberikannya”, Tya makin melebarkan selangkangannya lalu merebahkan tubuhnya
ke belakang dengan bertopang pada kedua lengan. Begitu terasa sperma-sperma
becek mengisi penuh lubang duburnya sementara ibu jariku terus menggosok-gosok
klentit (klitorisnya) berharap si cantik juga mendapatkan orgasme-nya. Semakin
ku gesekan jari ini, semakin menggeliat pula pinggul dan tubuh si cantik.
Tubuhnya berontak, seakan ingin melepaskan ibu jari ku dari itil-nya yang ku
rasa semakin mengeras dan menyembul dari “kerudung-nya”.
” aaakkhhh .. aakkhhh
.. aakkkhhhh .. akkhhhhhhh Daaa vviidddddd … uu .. udaaa .. hhhhh .. ” Tya
menceracau tak bisa diam, sementara tubuhnya makin bergerinjang tak kuat menahan
geli dari rangsangan yang ku buat.
” uu … uuu ddaaahhhh
aaakkkhh .. akhh .. akhh “
Sejurus kemudian,
entah cairan apa yang keluar dari vaginanya. Yang ku tahu, cairan itu
menyemburat seperti tak tertahankan, hangat dan banyak namun bening tak seperti
urine, dan selama ia mengucurkan cairan squirting tsb, telunjuk yang sengaja ku
tinggal dalam duburnya, merasakan dinding di dalam anusnya menghisap dan
bergerak lebih kencang dan tak beraturan. Puas menyemburatkan birahi-nya dan
(sepertinya) cairan tsb telah habis ia semprotkan melalui lubang urine-nya, Tya
merebahkan diri di atas lembaran daun pisang yang telah di tata sebelumnya
sedangkan telunjuk ku, masih ku tinggal dalam duburnya.
Ia berbaring menikmati
desir dan debur orgasme yang membawanya terbang tenggelam sementara kedua
pahanya, ia biarkan terbuka mengangkang. Dengan posisinya yang seperti itu,
mengundang ke-ingintahu-an ku. Perlahan ku cabut jari ku dari liang poop-nya,
dan bagian itu pun berkedut lagi seakan ingin mengeluarkan sesuatu dari arah
dalam. Sejurus kemudian, ku angkat kedua pahanya hingga selangkangan itu
terpampang begitu jelas dan ku minta kepadanya agar ia mengeluarkan sperm-sperm
milik ku dari dalam anusnya. Cinta nya yang begitu besar kepada ku membuatnya
tunduk dan patuh, untuk menuruti segala keinginan iblis yang di cintainya. Dan
kini, bagian itu tengah berusaha mengeluarkan sesuatu di dalamnya, bergerak
maju dan mengejan, sesekali tertarik ke dalam dan mengkerut begitu rapat-nya.
Berkali-kali dapat ku lihat bagian itu menyembul keluar seiring dengan expresi
wajahnya yang mengedan. Tya .. betapa aku mencintai mu ..
Bagian itu, berubah
menjadi tonjolan yang bergerak-gerak. Tonjolan dari bagian dalam lantaran si
cantik terus mengejani-nya kuat-kuat, hingga sperm-sperm itu mulai keluar
perlahan dari titik pusaran-nya. Terus dan terus, hingga beberapa kali ku
dengar dari udara yang di paksa keluar dari bagian yang seharusnya tak menerima
tekanan dari luar, dan cairan-cairan yang putih kental itu pun meleleh mengalir
dari anusnya lalu mengarah dan menetes ke bawah.
Merasa tak ada lagi
sperma ku di dalamnya, ku usap lagi bagian tsb lalu mencium klitorisnya lagi
sebagai tanda kasih dan sayangku pada Tya, Juwita pengisi hatiku.
Usai berbuat mesum
dalam dangau milik Pak Imron, lekas kami berbenah diri dan pergi meninggalkan
“gubuk” tsb setelah sebelumnya, aku mengintip, memantau keadaan di luar,
takut-takut ada yang memergoki kami. Ku rasa aman, kami pun segera keluar dan
menutup pintu serapat mungkin, seperti sedia kala. Begitu aku keluar di susul
Tya yang mengekori ku, kami segera di sambut oleh ribuan cahaya jingga dari
bias-bias cahaya dari sang surya yang mulai terbenam.
” keren yaa !! ” ucap
ku seraya meraih lengan kiri Tya, sementara kabut senja di bebukitan mulai
menelan sang surya di ufuk (barat) sana.
” he-eh !! ” jawabnya,
ku lihat Tya sedikit meloncat, menghindari genangan air hujan pada jalan
berbatu yang kami lewati. Jalan berbatu ini adalah jalan yang menghubungkan
desa kami dan pemukiman di tepi jalan beraspal, panjangnya kurang lebih sepuluh
kilo meter hingga akhirnya buntu dan mengarah menuju sungai.
Ku remas lengan Tya,
dan Tya pun mengeratkan genggamannya sembari berjalan memandangi cahaya sunset
selepas hujan reda dan meninggalkan rasa yang dingin. Jelas terlihat, sang
surya tak berdaya, terkubur dalam bayang bebukitan nun jauh di sana. Kami
berjalan beriringan, dalam naungan cinta yang meneduhkan di atas kepala kami.
Itulah memory ku dulu,
10 tahun yang lalu.
Setiap kita memiliki
ruang dan waktu atau syair dan nada yang membawa kita kembali ke masa itu,
sebuah masa yang tak’an bisa terbeli dengan berapa pun banyak harta yang kau
miliki.
Sekarang, bisakah anda
bayangkan, anda tengah berdiri mematung, menatap sepasang mata wanita dari
balik jendela. Lalu anda, beranjak berjalan memasuki kamar di mana wanita tsb
berada. Seketika itu juga anda merasakan dinginnya hawa dalam kamar tsb,
sementara si wanita tak menghiraukan kedatangan anda, dan masih menatapi
dinding-dinding ber-cat putih gading. Inilah yang kurasakan, sungguh hatiku tak
mampu lagi menguak kenangan bersamanya .. bersama “orang gila” yang kini sedang
ku temui. Ia membiarkanku mematung, seperti tiang salib yang terpancang di atas
(bukit) Golgota.
TAMAT
Baca
juga
No comments:
Post a Comment