Aku merasa hidup ini
sangat fana. Aku terlahir di keluarga yang serba kekurangan, aku tidak pernah
mengecap bangku pendidikan, karena ayahku telah lama dunia, sejak kecil hanya
ibuku saja yang mencari nafkah, namun sekarang karena faktor usia beliau juga harus
berhenti bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Kondisi tubuhnya sudah
tidak memungkinkan untuk membanting tulang. Aku yang sudah memasuki umur 18
tahun memang sudah seharusnya menjadi tulang punggung keluarga, walaupun aku
anak tunggal, tapi aku masih harus menghidupi ibuku. Karena tanpa bekal ilmu aku
kesulitan mencari pekerjaan, sehingga menjadi jambret dan preman lah yang
sedikit membantuku menyambung nafas.
Aku Syamsul, mempunyai
seorang teman baik namanya Mamat, ia adalah teman terdekatku sejak dari kecil.
Ia juga berprofesi sama denganku, kami kadang bekerja sama untuk memalak orang,
namun seharusnya nasib dia lebih baik, karena ia masih berkesempatan mengecap
bangku pendidikan hingga selesai kelas enam sekolah dasar. Tiap malam aku dan
Mamat berkumpul di pos ronda yang sudah tidak difungsikan, menghabiskan bir dan
rokok yang kami beli dari uang yang kami sisihkan. Kami sebenarnya juga ada
mengumpulkan sejumlah uang yang nantinya akan kami gunakan untuk buka usaha.
Dan suatu hari, kemauan kami itu pun akan terwujud.
Suatu hari Mamat
mengenalkanku dengan seorang gadis yang rumahnya tidak jauh dari rumah Mamat.
Gadis itu bernama Rianti, seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi ternama
di kota kami. Gadis itu memanglah tidak begitu cantik, namun sikapnya yang baik
hati dan lemah lembut membuatku suka padanya. Karena alasan itulah, aku ingin
menunjukkan hal yang positif, aku dan Mamat pun membuka sebuah usaha tambal ban
kecil-kecilan, setidaknya pekerjaan ini terlihat lebih halal dari pada kami
harus terus-terusan menjadi tukang jambret, walaupun sesekali kami masih
memalak orang guna menambah sedikit dana untuk keperluan minum-minum.
Usaha kami sudah
berjalan kurang lebih seminggu dan cukup lumayan, karena selain tambal ban,
kami juga menjual oli kendaran. Karena usaha yang sudah cukup lancar, maka aku
pun memberanikan diri untuk lebih dekat dengan Rianti. “Nanti malam, jalan
yuk…” ajakku ketika Rianti singgah di kios tambal ban kami. “Mau ke mana bang?”
jawabnya dengan nada yang sangat lembut. “Yah, jalan-jalan saja neng…” jawabku.
Rianti hanya tersenyum dan berkata “Lihat nanti bang, takut ada acara mendadak
aja…” Dia pun berjalan meninggali kios kami. “Nanti aku jemput ke rumah…”
teriakku ketika Rianti belum terlalu jauh melangkah.
“Gitu dong bro…” Mamat
mencoba memberikan dukungannya. “Aku masih pesimis bro… Aku kan belum mapan,
apa dia mau dengan aku?…” jawabku. “Optimis dong bro, entar malem dia pasti
jadi kok…” walaupun Mamat belum memiliki pacar, tapi dia lebih mendukungku
untuk mempunyai seorang tambatan hati. “Tar malam pakai motorku saja, asal
jangan lupa isikan bensin…” Mamat menawarkan motor kesayangannya padaku. Aku
memang sering meminjam motornya, karena sampai saat ini aku masih belum mampu
membeli kendaraan. Motor Yamaha RX King nya Mamat memang dibeli secara ilegal,
tanpa surat yang sah, maklum lah kalau harganya cukup miring. Namun motor itu
sudah di-oprek Mamat, sehingga sangat mendukung kami ketika menjalani profesi
jambret.
Jam menunjukkan 18:30,
aku sengaja pakai kaos lengan panjang agar tatto ku tidak kelihatan
keluarganya. Sampai di depan rumah Rianti, aku sedikit ragu untuk masuk,
rumahnya memang tidak mewah, tapi setidaknya lebih bagus dari punyaku, di
luarnya ada warung kecil tempat ibunya Rianti untuk berjualan. Tapi kondisi
rumah sepertinya terlihat sepi, akhirnya aku beranikan untuk coba mengetuk
pintu. ‘Tok tok tok…’ suara ketukan pintu. Dan kemudian seseorang membukakan
pintu. “Cari siapa ya?” seorang ibu-ibu terlihat dibalik pintu dan bertanya apa
keperluanku. “Rianti nya ada tante?” tanyaku sedikit malu-malu. “Oh… Bentar ya…
Masuk aja dulu…” wanita yang ku yakini adalah ibunya Rianti ini mempersilahkan
aku masuk ke ruangan tamunya, dan ia kemudian masuk untuk memanggil Rianti.
Ruangan tamunya
lumayan besar, kursinya dari jati dan kulihat beberapa foto keluarga yang terpasang
di dinding, Rianti, ibu dan ayahnya, dan seorang gadis lebih muda dari Rianti
yang mungkin adalah adiknya. “Oh, Syamsul…” tiba-tiba terdengar suara Rianti
berjalan keluar bersama ibunya. Kami pun ngobrol-ngobrol sebentar sebelum
keluar dari rumah. Sepertinya tanggapan ibunya sangat baik, walaupun banyak
pertanyaan yang sepertinya sedang mengintrogasiku. “Syamsul ada buka tambal ban
tak jauh dari sini…” kata Rianti mengenalkanku kepada ibunya. Rumah terlihat
sepi, karena ayahnya sedang dinas keluar kota dan adiknya yang masih duduk di
bangku smp sedang nginap di rumah neneknya. “Jangan malam-malam ya…” pesan
ibunya sebelum kami berangkat.
Aku pun sangat senang
sekali bisa mengajak Rianti jalan-jalan. Awalnya kami hanya berkeliling
jalanan, hingga akhirnya singgah di sebuah warung untuk makan, “Aku yang
traktir ya…” kata Rianti. “Eh, kok gitu…” balasku. “Kan aku yang ajak singgah
makan…” jawab Rianti. Aku merasa tidak enak, namun sudah coba memaksa bayar,
aku tidak diijinkan. Malam itu kami pulang sekitar jam 21:10, aku tidak berani
kemalaman karena takut ibunya marah. Sesampai di rumah ternyata ibunya sudah
tertidur, pikirku kalau begini bagusan lebih lama kami nikmati malam berdua.
Tapi tidak apalah, lain kali saja, sekalian aku mau mengungkapkan isi hatiku.
Selisih tiga hari, aku
pun mengajaknya keluar lagi, dan malam itulah aku coba ungkapkan isi hati ku.
Aku menembaknya untuk menjadi pacarku, walau sedikit pesimis, aku sudah siap
menerima segala jawaban dari Rianti. “Ah, jangan bercanda dong…” jawab Rianti
sedikit tersenyum-senyum. Aku hanya terdiam dan kemudian berkata, “Ah, lupakan…
Aku cuma bercanda kok….” aku tersenyum lebar agar Rianti tidak marah denganku.
“Yah… Kirain serius…” sambung Rianti yang sedikit merenggut wajahnya. Aku tidak
tahu apa maksudnya, yang jelas aku tidak berani memaksakan kehendak aku.
Hampir setiap malam
kami jalan berdua, namun tanpa ada hubungan yang jelas, mau dibilang pacaran
toh kami belum jadian. Dan hubungan ini tidak terasa sudah berjalan hampir dua
tahun. Aku juga sudah cukup dekat dengan keluarganya, apalagi usaha ku dan
Mamat sudah cukup lancar, tiap hari ramai dengan pelanggan. Wajar saja, tiap
malam Mamat selalu menebar paku di jalan-jalan, tanpa sedikit nakal begitu, aku
yakin usaha kami pasti sepi.
“Udah, lamar saja si
Rianti…” Mamat berkata padaku ketika kami tengah mengerjakan tugas kami,
menambal ban sepeda motor di kios kami. Sambil bekerja kami sempatkan untuk
sambil bergurau. “Duit dari mana mat? Anak orang mau dikasih makan apa?”
jawabku sambil tertawa kecil. Pada hal aku juga ingin sekali menyunting Rianti,
hanya ku pikir aku belum begitu mapan, paling tidak aku harus memiliki sebuah
rumah pribadi dulu barulah aku berani berhubungan lebih lanjut.
Hari ini aku ingin
mengajak Rianti nonton bioskop, uang yang aku sisihkan tiap harinya sering
kugunakan untuk mentraktir Rianti. Malam pun tiba, kembali ku pinjam motor
Mamat untuk pergi menjemput Rianti. “Maaf nak, Rianti tidak ada di rumah…”
jawab ibunya yang membukakan pintu terus menutupnya kembali. Perlakuan ibunya
sedikit agak beda terhadapku hari ini. Perasaan curiga ku pun timbul, sifat
ibunya Rianti sepertinya tidak senang denganku, padahal tadi pagi Rianti
berkata akan menemaniku nonton. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya
aku pun pulang dan mengembalikan motor Mamat.
“Apa? Rianti tidak ada
di rumah?” Mamat terlihat kaget saat aku menceritakannya. Ku kembalikan kunci
motor Mamat, “Ada urusan mendadak kali, bro…”. “Ga mungkin, Rianti jarang
keluar malam-malam… Gw dah lama tinggal di sini, selain ma elu si Rianti gak
pernah keluyuran malam-malam…”. Aku pun tak tahu apa yang telah terjadi, aku
juga tidak mau menambah rasa curigaku lebih dalam. Aku tak banyak berbincang
lagi dan segera pamit pulang.
Paginya, aku berharap
mendapatkan kabar Rianti. Hingga sampai di kios tambal ban, aku mendengar kabar
yang tidak menyenangkan dari Mamat. “Aku sebenarnya tidak enak menceritakannya,
tapi kamu sahabatku, aku tak bisa sembunyiin ini darimu…” kata Mamat. Ternyata
Rianti dikurung oleh ibunya di rumah, Mamat tahu karena mendengar cerita dari
tetangga lainnya. Ibu Rianti sangat tidak menyetujui hubungannya denganku. Aku
tidak tahu apa yang membuatnya begitu, tapi aku ingin tahu langsung alasannya
dari mereka. Mamat yang pengertian akan keadaan ku akan membantuku mencari
informasi, karena aku yakin kalau aku ke sana, ibunya tidak akan
memperbolehkanku bertemu Rianti.
Mamat pun mendapatkan
informasi yang lebih lanjut, keluarga Rianti dari orang berada, mereka tidak
mau Rianti berhubungan dengan aku yang dari kalangan orang susah. Mendengar ini
tentu saja aku sakit hati, apalagi mendengar Rianti akan dijodohkan dengan orang
lain yang lebih kaya. Aku tidak puas kalau belum bertemu dengan Rianti. Maka
aku minta Mamat mencari info lagi, dan tidak sia-sia, besok Rianti akan
berangkat jam empat sore ke kuliah. Aku sudah menyusun rencana untuk
mencegatnya di jalan.
Saat yang ditunggu pun
tiba, aku bersama Mamat menunggu nya di depan gerbang perguruan tinggi tempat
Rianti kuliah. Biasanya aku yang memboncengnya ke kuliah, tapi entah kenapa aku
kehilangan kontak dengannya, dan kali ini mungkin dia akan naik taksi. “Itu
Rianti bro…” Mamat menunjuk ke arah seorang gadis yang berjalan menuju ke arah
kami. “Rianti, aku mau bicara…” aku menghampirinya sebelum dia melihat kami,
karena aku takut dia malah menghindar. “Sorry Syam, aku mau kuliah… Jangan
halangi aku…” dia cuma mengucapkan itu dan menghindar untuk masuk ke dalam
arean perguruan tinggi. “Tapi…” belum sempat selesai bicara, Rianti sudah
menjauh, dan aku tidak mungkin mengejarnya melewati gerbang yang dijaga oleh
security, apalagi pakaian ku lusuh penuh oli begini. “Bro, pulang saja dulu,
biar aku tunggu di sini…” aku tidak mau merepotkan Mamat yang sudah seperti
saudaraku sendiri. “Susah sama-sama susah… Senang sama-sama senang… Aku akan
menemanimu di sini…” jawab Mamat.
Sambil menunggu jam
pulang kuliah, aku dan Mamat menunggu di depan gerbang sambil bercerita.
Sesekali security kampus itu memandangi kami dengan tatapan curiga, wajar,
perawakan kami sedikit menyeramkan, selain hitam, tubuh kami penuh tatto dan
bekas luka sayatan, apalagi dengan baju yang kotor begini. Kami bercerita masa
lalu kami yang sangat suram, kami menjadi penjambret, preman pasar, juga
menjadi orang sewaan untuk memukul orang. Kamipun tertawa terbahak-bahak ketika
bercerita kelucuan yang pernah kami alami, misalnya hasil jambretan yang mana
isi dompet korban cuma seribu perak. Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam
22:00 seharusnya mahasiswa sudah pulang. Kami mondar-mandir di depan gerbang
sambil memandangi satu per satu mahasiswa yang keluar, kami tidak mau Rianti
terlewat.
“RIANTIII!!!!….”
teriakku ketika melihat Rianti yang berjalan keluar gerbang, cepat-cepat ku
hampiri dan kutarik tangannya agar dia tidak menghindariku lagi. “Aku mau kau
katakan semuanya…” aku berkata padanya. Dia menarik tangannya untuk lepas dari
cengkramanku, “Aku tak mau berhubungan denganmu!” tegasnya tanpa mau melihat
wajahku. “Tapi… Mengapa???…” tanyaku. “Aku sangat mencintaimu!…” sambungku.
“Tapi aku tidak menyukaimu!!!” Rianti malah berjalan menjauhiku. Mamat yang
melihat kami begini cuma bisa diam dan tidak berani ikut campur lebih dalam.
“Kalau kau memang tidak mencintaiku, biar aku mati di sini saja!” jawabku
dengan mengeluarkan belatu dari saku celanaku. Pikiranku sangat pendek, hatiku
yang sangat sedih membuatku ingin bunuh diri. “Jangan bodoh! Kita sangat
berbeda! Gak perlu dipaksain!” kata Rianti yang kemudian terus menjauh jauh.
Aku terpaksa membiarkannya menjauh, aku sedih bercampur malu, beberapa anak
kuliah memperhatikan aku, mungkin mereka mendengar percakapan kami. Apa orang
miskin tidak punya hak untuk mencintai dan dicintai? “Sudahlah bro… Wanita
masih banyak…” Mamat memegang pundakku dan mengajakku meninggali tempat ini.
Dalam perjalanan aku malah mengajak Mamat ke sebuah cafe remang-remang, aku mau
merilekskan pikiranku dulu.
“DASAR CEWEK
MATREEEE!!!!….” teriakku di bawah pengaruh alkohol. Sudah delapan botol bir aku
dan Mamat habiskan di cafe ini. Seperti masa-masa lalu kami, berpesta bir
hingga habis puluhan botol. Kami berdua memang sangat kuat minum, kali ini aku
ingin melupakan sejenak semua kesedihanku. Tapi sangat sulit sekali, aku masih
memikirkan kenangan kami, sia-sia sudah perjuanganku selama dua tahun. Sakit
hatiku menjadi dendam, aku dan Mamat pun melampiaskan nya dengan bermain wanita
penghibur di sini. Berpesta hingga subuh hari, dan kamipun pulang dengan
keadaan mabuk.
“Bro, gw
dengar-dengar, ibunya Rianti mau menjodohkan Rianti dengan orang kaya.” kata
Mamat ketika kami bertemu di kios tambal ban kami. Aku sebenarnya tidak mau
tahu lagi dengan info mengenai Rianti, namun kata-kata Mamat membuatku semakin
sakit hati. “Ibunya tidak suka dengan kamu bro… Pekerjaan kita ini gak jelas…
Wajar saja sih…” Mamat pun seolah-olah sakit hati dengan perbuatan Rianti dan
ibunya. Kami pun berdiskusi untuk membalaskan dendam kami, kami memang orang
sudah tapi tidak seharusnya diperlakukan seperti orang rendahan begitu. “Dia
bilang kita miskin? Nanti lah liat siapa yang miskin dan siapa yang kaya!” kami
berencana akan merampok rumahnya nanti malam.
Jam sudah menunjukkan
pukul 22:45, pas tengah malam kami akan beraksi, dua tahun sia-sia ku akan ku
lampiaskan malam ini. Berbekal belati dan penutup wajah, kami kembali mengulang
kehidupan kami di dunia kejahatan. “Sudah sepi nich, kelihatannya sudah tidur
semuanya…” kata Mamat yang sedang mengamati situasi. Kami baru saja sampai di
depan rumahnya, karena sudah tengah malam, tidak terlihat satu orang di gang,
sehingga memudahkan kami masuk ke dalam rumah Rianti. Apalagi pekerjaan ini
sudah pernah kami geluti sebelumnya, jadi bukanlah hal susah untuk membobol
rumah orang. Rumahnya memang tidak begitu besar, kami harus mencari penghuninya
dulu untuk dilumpuhkan agar kami lebih mudah mengais hartanya. Tapi setidaknya
kami lebih aman, ayah Rianti sedang berdinas keluar kota, jadi di rumah ini
hanya tinggal perempuan saja.
Ada tiga kamar di
sini, kami yang menggunakan penutup wajah yang seperti biasanya dipakai oleh
perampok lainnya mencoba memasuki kamar pertama yang lebih besar dibanding
kamar lainnya. Aku menduga kamar ini adalah kamar orang tua Rianti, dan kami
terheran ketika memasuki kamar ini ternyata ruangannya tidak ada orang. Kemana
pemilik kamar ini? Kami belum mau mencari harta sebelum melumpuhkan
penghuninya, agar aksi kami lebih aman. Selain merampok, aku sudah sangat tidak
sabar untuk menyalurkan dendamku dengan menyetubuhi Rianti, cintaku yang
sia-sia selama bertahun-tahun harus terbalaskan. Kami pun memasuki kamar ke dua
yang juga tanpa dikunci, remang-remang terlihat ada seseorang tertidur di
ranjang. Ranjangnya ada dua, tapi yang satunya kosong, aku yakin ini adalah
kamar Rianti dan adiknya, Dini. Segera aku dan Mamat mengeluarkan tali untuk
menyekap seseorang yang sedang tertidur pulas itu, entah Rianti atau adiknya,
tanpa penerangan aku sulit mengenalinya.
“Hump….” Mamat
langsung menutup mulutnya yang serentak gadis itu pun terkejut tanpa perlawanan
berarti karena aku dengan sigap telah menangkap kaki dan tangannya serta ku
ikat kuat. Badannya mungil, aku yakin ini bukan Rianti, melainkan Dini,
adiknya. Lalu kemana Rianti dan ibunya? Kami tidak menyalakan lampu agar tidak
mencurigakan, takut Rianti atau ibunya ada di luar kamar. Segera kami keluar
dari kamar untuk mencari penghuni lain, tapi sebelum keluar kamar yang ini aku
sempat meraba payudara gadis kecil ini walaupun dari luar pakaiannya, susunya
tidak begitu besar, pasti masih sangat ranum, dan tidak pernah terjamah pria.
Di luar kamar pun
sepi, tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia, namun kami masih
mengendap-ngendap untuk berjaga-jaga. Mendekati kamar terakhir aku berharap
Rianti dan ibunya ada di sana agar kami dapat melumpuhkannya, sekalian
meluapkan dendamku. Pintu pelan-pelan ku buka, dengan belati yang ada di
tanganku, aku tidak segan-segan berbuat kasar lagi. “Dreeekkk…” suara pintu
yang terasa agak keras, seperti sudah jarang dibuka. Samar-samar ku lihat hanya
tumpukkan benda yang tak jelas, Mamat pun menyalakan senter yang dia bawa untuk
memastikan isi kamar ini, dan ternyata kamar ini digunakan sebagai gudang atau
tempat menyimpan barang tak terpakai. Berantakan sekali, dari meja bekas, kulkas
tak terpakai, drum, beberapa lukisan, dan entah barang apa yang ada dalam
kardus penuh dengan debu, bau kotoran tikus pun menyengat, kamar ini
benar-benar tak terurus.
Kami pun segera keluar
dan berkeliling rumah untuk mencari Rianti dan ibunya, agar kami lebih leluasa
bergerak apabila sudah melumpuhkan semuanya. Tapi semua sudut rumah telah kami
cari, tidak terlihat keberadaan mereka, kemana perginya Rianti dan ibunya? Apa
Dini dibiarkan sendiri di rumah? Aku dan Mamat pun segera balik ke kamar ke dua.
Gadis di dalam sana masih terlihat meronta berusaha melepaskan ikat di
tubuhnya. Agar tidak dicurigai, aku pun mulai berbicara dengan suara yang agak
serak, “Di mana orang tuamu?!” sambilku lepaskan ikatan yang menutup mulutnya
dan ku tempelkan belati dekat lehernya. “Pa.. Papa… ke Banduung……” jawabnya
dengan gemetaran. Ku lihat dia memang Dini, wajahnya juga cantik seperti
Rianti, badannya saja yang lebih mungil. “Yang lain???” tanyaku lagi.
“Ma.. mama dan ka..
kakak kee Jakarta….” jawab gadis ABG yang sudah memasuki bangku SMA ini. Buat
apa Rianti dan ibunya ke Jakarta? Aku tidak berani menanyakannya karena takut
dicurigai. Merasa sudah aman, Mamat pun menyalakan lampu dan keluar dari kamar
untuk menguras harta di kamar pertama. Aku dibiarkan di sini untuk mencari
harta yang ada di kamar ini, tapi bukan mencari harta, perhatianku malah
tertuju pada Dini. Tubuhnya yang mungil dengan pakaian baju tidur yang tipis,
terikat tak berdaya, ia gemetaran dengan mata yang mengucurkan air mata, ia
ketakutan hingga aku terdengar isak tangisnya. Nafsu birahiku muncul, entah
setan apa yang membisik di telingaku, tak dapat kakaknya, adiknya pun jadi.
Mungkin pengaruh dendamku yang sudah memuncak membuatku tak berbelas kasihan
lagi, tak pikir dia gadis belia. Langsung saja ku jambak rambutnya yang panjang
dan ku ciumi bibirnya dengan paksa. Dini terlihat meronta-ronta untuk menolak
ciumanku, namun badannya terikat kuat, ia tidak mampu berbuat apa-apa. Pipinya
bersentuhan dengan maskerku yang sedikit kasar dan bau ini, ku cium bibir
hingga ke lehernya, hmm, harum sekali.
Aku pun mengancamnya
untuk tidak melawan, ku lepaskan semua ikatannya dan langsung menghajarkan
pukulan tepat di perutnya agar ia tak bergerak. “Hoaakkkzsz…” gadis itu hampir
muntah terkena bogem mentahku. “Jangan macam-macam kalau mau selamat…” bisikku
di telinganya dengan nada serak. Aku pun menjambak rambutnya dan menariknya
agar dia bangun dan berdiri. Dini berdiri dengan memegangi perutnya, ia tampak
kesakitan, air matanya terus bercucuran, “ampun… jangaann sakittiii
saaayyaaaa…” dia memohon padaku. “Tidak akan ku sakiti lagi asal kamu mau
menuruti perintahku..” pesanku dengan mendekatkan belati di lehernya. Ia pun
berdiri, kemudian aku duduk di ranjang tepat menghadapnya. “Sekarang, aku mau
kamu menari…” perintahku. “Akkuu taak pandaaii menaariii…” jawabnya sambil
memegangi perutnya yang sepertinya masih terasa sakit. “Menari? Atau mati?”
ancamku. Dini pun dengan sangat terpaksa menuruti perintahku. Tubuhnya yang
langsing menari dengan pelan-pelan.
Penisku terasa
mengaceng, hingga tidak tahan, aku minta Dini bergoyang sambil melepaskan semua
pakaiannya. “Akkuuu moohhhoooonnn jaanggannn…” ia memohon dengan menangis lebih
keras. Aku hanya memainkan belati ku saja, dan nampaknya dia pun mengerti.
Pelan-pelan dia melepaskan kancing baju tidurnya, tubuhnya putih sekali,
sepertinya lebih indah dari Rianti. Ku lihat bra warna hitam membaluti susunya
yang cukup kecil, namun sangat menggairahkan. Penisku semakin mengeras tak
sabar untuk berejakulasi. Aku terus memutar belati yang ada di tanganku, Dini
pun ketakutan dan segera menurunkan celana nya, pahanya putih mulus, indah
sekali, nampak celana dalamnya berwarna pink dengan motif bunga.
Aku segera membuka
resleting celanaku dan mengeluarkan penisku yang sudah mengeras sedari tadi.
“Sini! Hisap kontolku!” perintahku kasar. “Jangaann, sayaa tidaakkk pernaahhh
beginniii…” jawabnya. Dengan kasar aku menarik tangannya dan menjatuhkannya
tepat di depanku. Posisinya yang terjatuh berlutut memudahkanku menarik
rambutnya agar wajahnya mendekat ke penisku. “Hisap atau mati?” ancamku dengan
kembali mengalungkan belati ke lehernya. Dengan gemetaran dan air mata yang
tidak habis mengalir, ia pelan-pelan membuka mulutnya yang mungil. Dini pun
malu-malu mengulum penisku, namun karena nafsuku sudah memuncak, aku memaju
mundurkan pinggangku serta menjambak rambutnya membantu goyanganku. Dini masih
terus menangis, sesekali aku menampar pipinya ketika ia merasa jijik dan
melepas kulumannya. Hangat sekali, belum pernah aku dikulum oleh seorang ABG,
dulu-dulu aku pernah main PSK, tapi rata-rata umur mereka sudah lumayan tua,
maklum yang tua lebih terjangkau harganya. Tanpa mau membuka matanya, Dini
mengulum penisku dengan terpaksa, mungkin baginya penisku sangatlah jijik,
sesekali terlihat dia mau muntah.
Aku penasaran dengan
tubuhnya, maka ku lingkarkan tanganku hingga ke belakang punggung Dini, dengan
terus dikulum, aku mencoba melepaskan kaitan tali bra Dini. Sebentar saja sudah
terlepas kaitan tali bra nya, Dini pun menghentikan kulumannya dan ingin mencegah
aku melepas bra nya. Namun ku segera angkat tubuhnya berdiri, dan ku sentakkan
bra nya dengan kuat agar terlepas. Dini kaget sekali dan terjatuh ketika bra
nya terlepas dari tubuhnya, ia berusaha menutupi susu nya dengan kedua
tangannya. Tonjolan susunya masih kecil, walaupun ditutupi tapi nampak susu
yang tidak begitu besar itu.
Aku mencoba
mendekatinya, ku tangkap tangannya dan ku tarik agar Dini tidak menutupi
susunya. Wow, putingnya merah muda, masih kecil sekali, dengan kulit yang putih
terlihay sangat segar. Namun belum sempat aku merabanya, Dini memberontak, aku
didorongnya hingga jatuh, Dini pun lepas dari cengkramanku, ia coba berlari
keluar kamar hanya menggunakan celana dalam. Aku segera bangkit untuk
mengejarnya, tapi usahaku tidak perlu karena Dini kembali ke kamar dengan
digendong Mamat. “Pesta kok tak ajak-ajak?” kata Mamat yang telah selesai
membongkar kamar utama. Dini nampak tak berkutik di cengkraman Mamat. Lalu
Mamat melemparkan tubuh Dini ke atas kasur. Dengan masih keadaan tertutup,
bertopeng dan bersarung tangan, Mamat kembali mencari harta yang bisa digasak
di kamar ini, “Lu senang-senang aja dulu, tar sudah capek baru gantian…” kata
Mamat.
Aku yang sedikit marah
karena Dini yang berontak lalu mendekati Dini, ku tampar pipinya berkali-kali
hingga kemerahan, dia pun menangis kencang. Emosiku meluap-luap, dengan membabi
buta ku tampar juga kedua buah susunya yang baru saja ‘matang’ itu, ku tarik
celana dalam nya hingga lepas, hingga terpampang garis vaginanya dengan
dikelilingi bulu yang masih jarang-jarang. Tangisnya makin keras, aku pun
segera mengalunginya belati dan menyuruhnya untuk tidak ribut. Kini hanya isak
tangis yang terdengar, melihat perlawanannya hanya membuat birahiku memuncak
tak karuan. Kemudian kucium dan kukenyot susunya dengan kasar, kiri kanan
bergantian, sesekali aku memilin putingnya yang kecil itu dengan jariku.
Dini sudah tak
berdaya, tubuhnya yang mungil ini tak sanggup melawan cengkraman dari tanganku.
Kini tanganku sudah bergrilia hingga ke pangkal pahanya, kucoba jebol vaginanya
dengan jari telunjukku, waduh rapat sekali. Kupaksakan hingga jari telunjukku
melesap masuk, kemudian ku obok-obok vaginanya tanpa henti. Merasa vagina nya
sudah sedikit terbuka, aku tambahkan jari tengahku mengoboknya. Dua jari kini
agak kesulitan mengobok vaginanya. Susunya telah kemerahan akibat ciumanku,
cupangan, gigitan, juga cubitan jariku. Dini pasti merasa sakit sekali dengan
perlakuan begini, memang malang nasibnya, padahal target awalku adalah Rianti,
kakaknya.
Tak terasa menikmati
susunya, Mamat pun sudah selesai menguras harta yang ada di kamar ini, semua
barang berharga yang mudah dibawa sudah dimasukkan ke dalam tas. Mamat pun yang
sedari tadi tidak sabar, segera merapat dan ikut dalam pergelutan ini.
Mamat langsung membuka
resletingnya dan segera memasukkannya ke mulut Dini. Aku tidak mau kalah,
kurasa sudah cukup aku membiarkan jariku bermain, kini penisku pun ku alihkan
ke vagina Dini untuk gantian dengan jariku.’Blep…’ sempit namun basah, sungguh
nikmat sekali, penisku seperti terjerat kuat di vagina Dini.
Ku genjot terus vagina
Dini yang sempit itu hingga tubuhnya bergoncang keras, tak ku hentikan juga
aksi mengenyot susunya. Dini tanpa perlawanan, mulutnya tidak bisa memohon lagi
karena disumpal dengan penis Mamat yang cukup besar, hanya air mata yang terus
mengalir dari matanya. Saat ini aku benar-benar indehoy, dendamku terbalaskan,
aku rela melepas Rianti asal dapat mencicipi adiknya ini, aku sudah sangat
puas, biarlah pengorbananku selama dua tahun terbayarkan malam ini. Mamat
terlihat lebih kasar, ia terus memaksa Dini mengulum habis batang penisnya
hingga masuk ke kerongkongan Dini, sesekali Mamat menampar pipinya agar Dini
lebih bersemangat. Setelah hampir satu jam menusuk-nusukkan penisku di vagina
Dini, aku pun mengurangi irama genjotanku, karena aku merasa sperma ku sudah
tak sabar ingin keluar.
Ku tahan gerakanku
agar sperma ku tidak semprot keluar, aku ingin main lebih lama dengan Dini,
maka kudiamkan sejenak penisku di dalam vaginanya, dan kulihat ada bercak darah
di sekitar kelamin kami, ternyata aku sudah merenggut keperawanannya.
Aku lihat Mamat pun
sudah berejakulasi, spermanya berhamburan di dalam mulut Dini. ‘Plakkk’ Mamat
kembali menampar pipi Dini untuk memaksanya menelan habis spermanya. Dengan
sangat terpaksa Dini pun menurutinya, menelan semua sperma yang baginya jijik
dan bau amis itu. “Jilat bersih otongku!” Mamat meminta Dini membersihkan
penisnya yang basah dengan cairan, Dini terpaksa menjilatinya hingga ke pangkal
penis Mamat. Sedangkan aku masih membiarkan penisku beristirahat sejenak di
dalam vagina Dini, setelah agak mendingan, aku baru mencabutnya, aku ingin Dini
juga meminum spermaku. Maka aku pun bangkit dan maju ke arah kepala Dini, ku
sodorkan penisku ke wajahnya. Dini yang kelihatan mau muntah itu menolak
penisku, “Mau aku semprotkan di memek mu atau kau menelannya??” ancamku hingga
dia pun malu-malu mengulum penisku. Mamat yang sudah lepas dari titik klimaks,
mundur ke arah kaki Dini, aku kira dia masih mampu mau menggenjot vagina Dini,
ternyata Mamat menusukkan jarinya ke lubang vagina Dini, dia mengobok-ngoboknya
dengan kasar. Dini hanya terus menangis, badan mungilnya sudah hampir tidak
bertenaga. Sambil disedot, aku masih terus memilin puting susunya. Sangat
tragis, kulihat Mamat sudah memasukkan tiga jari ke dalam vagina gadis kecil
ini.
Penisku sudah capai
tahap tertinggi pula, sebentar lagi akan memuntahkan spermanya, dan kupercepat
irama dengan menarik ulur kepala Dini. Dia terlihat kesakitan karena rambutnya
yang panjang kusentak terus. Akhirnya spermaku pun memenuhi rongga mulutnya,
aku sengaja tidak mencabut penisku agar mulut Dini penuh dan dia terpaksa
menelan spermaku yang banyak sekali, bahkan saking banyaknya tertumpah keluar
dan menetes dari sela-sela bibirnya.
Aku pun beristirahat
sebentar sambil menyaksikan Mamat yang sibuk dengan jemarinya, sambil menunggu
aku masih menyuruh Dini membersihkan penisku dengan lidahnya. Penisku dijilati
bahkan sampai ke kantong buah jakar ku, geli sekali rasanya. Samar-samar aku
mendengar rintihan Dini, “sasaakit… ssaakkiiiittttttt…” Lubang vaginanya sudah
jauh melebar dari semula, Mamat yang mengebu-gebu bahkan menambah jarinya,
sehingga empat jarinya sudah menembus vagina Dini. Penisku sudah dibersihkan
Dini yang baik ini, kemudian kembali ku ingin menikmati susu nya yang ranum. Ku
kenyot-kenyot susunya dengan kasar, sungguh segar sekali menikmati ABG seperti
ini.
Sudah hampir jam tiga
subuh, Mamat pun menghentikan aksinya karena melihat Dini sudah pingsan tak
berdaya. Kami pun segera mengemas barang curian kami dan segera meninggalkan
rumah ini. Dini tetap kami biarkan tergeletak di ranjang dengan keadaan bugil,
biar saja mereka menanggung semua aib ini. Tanpa terlihat seorangpun, kami
berhasil keluar dari rumah ini, kami tidak mau langsung ke tempat usaha kami
agar tidak dicurigai, jadi kami langsung ke warung kopi yang letaknya agak jauh
dari sini.
Sesampai di sana kami
pun berbagi hasil curian, ada handphone, laptop, uang dan perhiasan. Setelah
selesai membagi hasil, kami hanya bersantai minum kopi menunggu jam tujuh
jadwal buka kios tambal ban kami. Hari pun terlewat biasa saja, tidak ada
tanda-tanda pelaporan polisi atau semacamnya.
Hingga besoknya, Mamat
pun mendapatkan informasi kalau Rianti dan ibunya kecelakaan saat menuju
Jakarta. Ternyata mereka ke sana adalah dengan tujuan mempertemukan Rianti
dengan pria yang telah dijodohkan orang tuanya. “Rianti dan ibunya meninggal
dunia sebelum sampai di rumah sakit, mobil mereka menabrak sebuah truk
kontainer yang sedang parkir”, jelas Mamat. Sedangkan ayahnya masih belum
pulang dari dinas, entah apa yang terjadi bila ayahnya tahu keadaan ini. Mamat
bilang masih melihat Dini beraktivitas seperti biasanya, seperti tanpa beban
mengalami perkosaan sebelumnya. Aku hanya menunggu kepulangan jasad Rianti dan
ibunya, agar bisa turut mendoakan kepergian mereka.
Ku pikir hidup ini
sementara, sehingga kita harus senang setiap harinya, menjalani hidup tanpa
beban. Aku dan Mamat pun selain meneruskan usaha tambal ban, kami juga punya
sampingan, pekerjaan seperti dulu, menjadi pencuri, jambret, dan orang bayaran.
TAMAT
Baca
juga
No comments:
Post a Comment